#RealStory Ep. 14: Kolaborasi yang Baik Menurut Evan Sujanto

Hi Alterrans,

Kita sudah sampai di bulan terakhir di tahun 2020, nih. Tahun yang berat bukan cuma untuk kamu, tapi kita semua. Salah satu tantangan yang besar adalah ketika harus bekerja di rumah terus-menerus. Mungkin lamanya WFH ini membuat kita ada yang merasa burn out atau kolaborasi timnya menurun karena tidak bertatap muka. Tenang saja, di bulan desember ini tim KAMIS berbincang mengenai value Collaboration bersama Evan Sujanto, selaku Senior Engineering Manager di Alterra.

Jadi gimana sih kolaborasi dari padangan Evan? Dan kira-kira apa sajakah yang dibutuhkan untuk menciptakan kolaborasi yang baik? Yuk, mari langsung simak perbincangan lengkapnya di sini!

__________________________________________________________________________________________________

Q: Hi Mas Evan, apa sih yang dibutuhkan untuk membuat kolaborasi yang baik?

A: Kalau menurut gue yang paling utama sebelum adanya kolaborasi itu harus ada komunikasi yang baik antar tim. Komunikasi itu yang jadi kunci, karena enggak mungkin kolaborasi tercipta tanpa adanya hal tersebut. Nah yang kedua, setiap tim wajib memiliki tujuan dan visi sehingga memiliki arah yang sama. Ketiga, salah satu yang paling penting itu harus ada trust terlebih dahulu. Setiap orang di dalam tim harus memiliki kepercayaan satu sama lain. Kalau kepercayaan sudah terbentuk, biasanya kolaborasi akan berjalan. Terakhir yang tidak kalah penting adalah toleransi. Kenapa? Karena setiap orang pasti tidak akan semua 100% sama atau setuju. Jadi kita harus punya batas toleransi dimana meskipun keadaanya tidak sesuai, kita tetap akan mau menjalankan. “Ya udah, gue akan menjalankan ini dan ini masih dalam batas toleransi gue. Gue mau menerima dan menjalankan sepenuh hati.” Itu menurut gue mindset yang penting. Kalau toleransi itu sudah tidak ada dan lo menjalankannya dengan terpaksa,  at the end yang terjadi adalah akan adanya negativitas. 

__________________________________________________________________________________________________

Q: Gimana cara mas Evan mengaplikasikan keempat hal tersebut untuk meningkatkan kolaborasi pada tim yang Mas pimpin?

A: Dari pas pertama kali gue masuk Alterra dan pegang tim, hal yang diutamakan gue lakukan sama mereka itu cuma satu yaitu, ngobrol dulu. Terlihat kok, ketika RPP dulu, dalam satu tim akan terlihat kalau kolaborasi sudah terbentuk, mereka akan ngobrol seperti teman. Bukan hanya tim TEC saja ya kalau dulu, termasuk tim SA, tim QE, bahkan dari PO-nya atau stakeholder ya mereka sudah ngobrol as a friend saja. Kalau sudah terjadi hal itu, gue merasa kolaborasinya sudah lebih baik dibandingkan dengan cuma satu orang yang ngobrol dan yang lain diam. Kalau gue lihat di tim masih ada yang diam, gue mencoba untuk membuka jalan supaya mereka ngobrol atau memberikan pendapat. Kolaborasi itu tidak terjadi dengan sendirinya, kolaborasi itu perlu dibentuk dan takes time

Hal yang utama dari gue adalah, lo tidak boleh takut di tim, anggap semuanya itu sama dan teman. Memberikan pendapat salah atau membuat kesalahan itu enggak apa-apa. Pada kolaborasi yang baik, ketika satu orang melakukan kesalahan menurut gue tidak akan disalahkan. Terus gimana kalau ada yang buat kesalahan? Di dalam kolaborasi yang baik, lo bisa didukung untuk belajar dan lebih baik lagi. Kesalahan itu pun diambil sebagai sebuah pelajaran bersama. 

Bahkan gue bilang ke mereka, jangan hanya ngobrol soal kerjaan. Kalau memang mau ngobrol sesuatu di luar pekerjaan ya enggak apa-apa, atau mau main game pun boleh kok–asal di luar jam kerja ya hahaha. Karena dari main bareng itu gue percaya akan mencairkan suasana. Dari situ dan obrolan yang sudah mulai terbuka, mulai deh istilahnya bisa saling mempercayai satu sama lain. “Oh gue tahu nih si A seperti ini,jadi gue harus gini untuk menghadapi dia.” 

Sebagai makhluk sosial kan kita butuh berkomunikasi, dan setiap orang itu enggak sama. Setelah itu akan terbentuk trust-nya. Kalau kepercayaan sudah terbentuk, gue jamin kolaborasinya akan jauh lebih baik. Makanya gue selalu bilang dalam sebuah tim, transparansi itu penting. Tidak usah takut kalau merasa enggak bisa, cerita saja. Karena dimanapun sebagai sebuah tim, kita enggak mungkin meninggalkan satu orang di belakang. Ketika ada satu orang yang ketinggalan, ayo kita bantu, kita jalan sama-sama dan raih pencapaian sama-sama. Sebisa mungkin kita harus berhenti sesaat dan bantu dia supaya bisa lari sama-sama. 

Visi gue itu selalu mau menciptakan tim yang kompak, kenapa? Karena gue pernah mengalaminya dulu di tempat sebelumnya. Dulu gue bisa bilang tim gue itu termasuk tim yang kompak. Jadi ketika kita dikasih pekerjaan, seberat apapun pekerjaan itu, kita menjalaninya dengan happy. Karena kita tahu kita enggak sendirian, ada teman-teman kita yang selalu mendukung kita di belakang. 

__________________________________________________________________________________________________

Q: Nah tadi Mas bilang semua diawali dengan ngobrol, tapi ketika itu peer to peer mungkin akan lebih mudah.. Tapi ketika ke atasan, pasti tetap ada gap. Gimana cara Mas Evan membawa diri ke tim sebagai seorang leader yang approachable?

A: Gue selalu menekankan ke tim, jangan ada yang namanya atasan dan bawahan, karena kita semua sama. Jadi misal lo lihat gue sebagai Evan as a manager, ya itu hanya jabatan dan tanggung jawab gue secara kerjaan. Secara manusia kita sama kok, buktinya kita sama-sama makan nasi haha. Makanya gue selalu bilang, jabatan itu sifatnya sementara. Mungkin di Alterra dipercayakan sebagai manajer, tapi selanjutnya? Bisa jadi lo jadi atasan gue. 

Jadi yang paling penting itu friendship, karena friendship itu forever. Gue selalu bilang ke tim kalau ada masalah cerita ke gue, kapan pun boleh. Karena gue always open, istilahnya ketika kalian butuh sesuatu, mau ngobrolin sesuatu, gue akan selalu menyediakan waktu untuk itu. Gue juga menyediakan waktu untuk meeting atau ngobrol dengan semua yang ada di tim gue. Tapi yang membuat gue senang, ternyata leader di tim gue juga melakukan hal yang sama ke timnya. Gue sering bertanya, apakah mereka takut kepada leader-nya atau ke gue sendiri? Menurut gue itu penting karena ketika sudah ada rasa takut, akan timbul gap. Ketika ada gap, berarti trust belum kebentuk dan kolaborasi akan susah terbentuk. 

__________________________________________________________________________________________________

Q: Oke selanjutnya, sebagai seorang leader apa yang Mas Evan lakukan kalau di tim ada yang tidak sejalan? Misal ada perbedaan pendapat, dan lain-lain. 

A: Itu yang gue bilang, kita perlu ada yang namanya toleransi. Di dalam kolaborasi yang dibentuk pasti ada perbedaan. Tapi kalau ada satu orang yang arahnya sudah berbeda banget, maka gue perlu membentuk tim baru lagi yang mungkin cocok dengan style-nya dia. Karena menurut gue paling penting itu visinya yang sama, berartinya intinya mesti sejalan kan. Tapi kalau enggak, berarti gue harus membentuk sesuatu yang baru, entah restructuring, atau membentuk tim baru untuk orang tersebut. Karena balik lagi, kolaborasi itu cocok-cocokan ya. Gue bisa saja cocok dengan kolaborasi di satu tim ini, tapi bisa jadi di tim lain gue kurang cocok. Setiap orang kan memiliki sifat yang berbeda-beda. Tapi gue percaya satu hal, kita sebagai makhluk sosial, sudah pasti membutuhkan bantuan orang lain. Kita enggak bisa hidup sendiri dan kita harus mencari sebuah environment yang nyaman untuk bisa berkolaborasi. 

Gue juga percaya, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Istilahnya kalau lo kasih orang yang “kurang bagus” ke gue, ya gue akan usahakan untuk memoles dia jadi emas, itu prinsip gue dari dulu. Makanya gue selalu bilang ke tim, ketika misal ada orang baru yang masuk dan kalian merasa “Wah si ini enggak cocok, nih,” Gue tekankan, tugas kita bukan complain sebenarnya, yang jadi tugas kita adalah “Yuk bantu sama-sama, biar dia bisa jadi yang baik.” Tugas gue itu meng-encourage teman-teman untuk bisa membantu sesama tim member dan maju bersama.

__________________________________________________________________________________________________

Q: Dalam sebuah kolaborasi biasanya ada saling back up. Tapi selalu ada tim member yang menjadi “yes man”, padahal ia pun sudah kewalahan dengan pekerjaannya. Menurut mas Evan is it okay to say no?

A: Menurut gue sebenarnya untuk berkata tidak itu, enggak masalah. Kolaborasi itu gue anggap sebagai bola yang berputar. Kalau kolaborasi itu berjalan dengan baik, dia akan jalan dengan sendirinya. Komunikasi di dalam pun sudah bagus, mereka akan saling melengkapi. Suatu saat kalau ada yang bilang “Eh gue butuh bantuan, nih.” lalu ada yang bales dengan “Wah gue lagi sibuk juga.” Ya it’s okay to say no, kenapa? Karena ketika kita bilang no, bukan berarti berhenti sampai di situ. Tapi ketika kita bilang no, ya artinya, “Gue belum bisa bantu lo sekarang, tapi yuk kita cari solusi lain supaya kita bisa achieve target bersama.” 

Gue seneng dengan Simon Sinek, dan dia salah satu yg menginspirasi gue juga. Anyway gue tahu Simon Sinek ini juga dari salah satu leader gue. Gue senang kata-kata dia yang jangan fokus di masalahnya, tapi fokus mencari solusinya. Kata beliau juga, kita itu playing the infinite game. Jadi enggak ada yang namanya menang atau kalah, adanya hanya tertinggal atau lebih unggul, ketika kita tertinggal kita harus terus meng-improve dan mengejar ketertinggalan.

Menurut gue di company ini pun sama, people come and go. Namanya people come and go, ketika kolaborasi sudah bagus tapi ada orang baru masuk atau orang keluar, bisa jadi berubah. That’s why infinite game itu menurut gue penting, dan kita harus punya mindset  never ending improvement. Dan yang enggak kalah penting ya transparansi dan komunikasi. Makanya ketika di tim ada yang bilang “Oh kok gue rasanya enggak cocok ya sama dia,” yuk kita adakan retro yuk. Tujuannya untuk apa? Ya dari situ biasanya kita bisa saling jujur-jujuran secara dua arah. 

Dari situ akan terlihat bisa sejalan atau tidak, kalau memang tidak bisa sejalan mau tidak mau ya harus dipisah. Biasanya dari retro juga ketahuan “Oh reason dia seperti itu,” Nah setelahnya gimana toleransi gue untuk memaklumi dia seperti itu. Karena sometimes ketika lo buat kesalahan dan lo notice, itu bagus, tapi kalau misalnya itu sifatnya kita–ya sifat itu kalau mau dirubah susah banget kan–itu akan take time dan balik lagi kita mau merubahnya atau enggak. 

__________________________________________________________________________________________________

Q: Jadi menurut mas Evan, dilakukannya retro itu penting ya?

A: Menurut gue penting, ya karena openness itu datangnya dari retro. Sometimes ketika kita enggak suka yang terjadi adalah kita mengeluh di belakang. Nah yang pentingnya adalah menurut gue ketika kita enggak suka ya, kita harus kasih tahu. Makanya dulu pas Ananto bilang soal constructive feedback, itu menurut gue bagus banget. Memang itu adalah hal yang susah, apalagi kalau kita sudah teman dekat akan lebih susah. Tapi kalau itu sudah terbiasa dan terjadi, menurut gue akan lebih baik sih.

__________________________________________________________________________________________________

Q: Terakhir nih, apa saran mas Evan untuk Alterrans mengenai value Collaboration ini?

A: Menurut gue kolaborasi itu salah satu hal yang paling penting, karena kita enggak bisa melakukan semuanya sendirian. Semakin berkembang bisnis atau sistem yg kita punya, kita membutuhkan bantuan dari pihak lain. That’s why teamwork dan kolaborasi itu penting. Saran paling penting untuk menerapkan kolaborasi harus dimulai dengan komunikasi. Jangan lupakan komunikasi, always cerita khususnya ketika ada masalah. Openness itu penting dan patut diingat kita juga enggak boleh gengsi untuk mengakui kalau kita perlu bantuan. Gue sih pengen semua Alterrans punya mindset, keep focus on the solution not the problem. Ketika mencari solusi itu, mungkin kalian membutuhkan bantuan dari pihak-pihak lain, dan itu enggak apa-apa. Kalian harus berani bertanya dan jangan takut untuk meminta bantuan, karena kita semua pasti akan membantu. 

Kolaborasi yang bagus itu ketika kita saling support satu sama lain, tidak saling menyalahkan, dan mencari solusi untuk mencapai tujuan bersama. Ada satu kalimat dari Michael Jordan yang selalu gue inget “Talent wins games, but teamwork and intelligence win championships”. Ini yang menginspirasi gue, dan gue percaya the power of collaboration dan teamwork.

__________________________________________________________________________________________________

Hm… jadi itu ya yang dibutuhkan untuk membentuk kolaborasi yang baik. Kira-kira Alterrans sudah melakukannya belum? Kalau belum, yuk mari kita belajar sama-sama untuk membentuk kolaborasi yang baik di Alterra tercinta ini. Semoga kedepannya, kolaborasi kita semakin baik ya..

Sampai bertemu di #RealStory episode selanjutnya!

#RealStory Ep.13: Belajar Customer Focus Bersama Ibu Peri

Hello Alterrans,

Surprise surprise kita sudah punya episode terbaru dari #RealStory lagi nih! Kali ini wawancara dilakukan bersama tak lain dan tak bukan adalah Ibu Perinya Alterra!! Siapa nih yang sudah menunggu-nunggu episode kali ini? Simak langsung yuk wawancara full-nya!

________________________________________________________________________________________________________

Q: Mba Puspa selalu berhasil mengkomunikasikan sesuatu dengan cara yang positif. Komunikasi juga jadi hal penting dalam value Customer Focus. Gimana sih cara membentuk komunikasi yang baik?

A: Elemen komunikasi yang sangat mendasar ada 3, Komunikator (kita yang menyampaikan), Pesan, dan Komunikan (orang yang menerima pesan). Dari ketiga elemen tersebut harus sama baiknya, sehingga keseluruhan pesan tersampaikan dengan baik. Yang paling utama yang harus diperhatikan ketika berkomunikasi adalah bagaimana cara pesan disampaikan. Aku selalu yakin bahwa apapun pesannya, ketika kita menyampaikan dengan cara terbaik, pasti pesan terburuk pun akan mendapatkan respon yang baik. 

Cara penyampaian pesan yang baik punya dua hal penting yang harus kita perhatikan, yang pertama, gunakan tutur kata dan pemilihan kata yang sesuai dengan pendengar kita. Hal ini penting agar kita berada dalam lingkup pemahaman yang sama dengan lawan bicara kita. 

Yang kedua, posisikan diri kita juga sebagai penerima pesan, bagaimana kita ingin orang berbicara kepada kita, begitulah juga orang ingin diajak bicara oleh kita, dengan kata lain berempati lah ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, karena tujuan utama kita berkomunikasi adalah agar pesan yang kita mau sampaikan diterima lawan bicara sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Contoh dalam keseharian aku ngobrol dengan tim POPS, aku bebas mempergunakan istilah, jargon, singkatan yang berhubungan dengan POPS karena memang tim aku sudah memahami itu. Tapi, ketika aku ngobrol sama lawan bicara lain yang tidak bisa mempergunakan hal tersebut, seluruh istilah, jargon, singkatan itu harus di re-wording menjadi bahasa yang lebih umum dan dapat dipahami oleh lawan bicara kita pada umumnya. Atau, kalau tidak bisa dihindari penggunaan hal-hal tersebut, berikan penjelasan atau pengertiannya dahulu, baru kemudian kita lanjut mempergunakan istilah/ jargon/ singkatannya.

Contoh lagi ketika berempati dalam berkomunikasi misalkan kita perlu menyampaikan pesan yang tidak enak kepada seseorang, sebelum kita memulai berbicara, pikirkan jika kita adalah orang yang menjadi penerima pesan, apa yang membuat kita merasa pesan tidak enak tersebut tidak menjadi lebih buruk, maka lakukanlah itu juga ketika kita menyampaikan pesan tersebut. 

________________________________________________________________________________________________________

Q: Menurut mbak, kapan seseorang bisa dinyatakan sebagai Customer Focus? Ketika orang itu sudah mampu memenuhi ekspektasi customernya kah atau gimana?

A: Buat aku, ini pas panget dengan penjelasan Customer Focus yang dipunyai Alterra, It doesn’t start with you, it starts with your customer… That’s so true! Ketika kita memulai pekerjaan (atau apapun itu) dengan bertanya, apalagi ya yang customer ku butuhkan hari ini? Atau, aku harus bisa membuat customer ku bilang “wow” hari ini! Saat itu lah kita betul-betul sudah memprioritaskan customer kita dan really-really living the Customer Focus values.

Memenuhi ekspektasi customer adalah sebuah outcome dari memiliki pola pikir Customer Focus. Aku yakin, kalau kita sudah punya pola pikir (mindset) yang tepat, memenuhi permintaan customer itu menjadi mudah dan menyenangkan.

________________________________________________________________________________________________________

Q: Bagaimana Mba Puspa menumbuhkan kepercayaan dari customer kepada Mba?

A: Membangun kepercayaan bukan hal yang sebentar dan bisa dilakukan dalam satu hari, tapi membutuhkan semangat dan daya juang tanpa lelah untuk bisa menunjukkan konsistensi dan kelayakan kita untuk bisa dipercaya. Dalam konteks dengan customer kita, aku ada beberapa hal yang biasanya aku lakukan (dan ini perlu konsisten juga menjadi kebiasaan kita lho):

Pertama, berikan kesan yang baik apalagi jika kita pertama kali berkomunikasi dengan customer kita. There’s no second first-impression! Begitu kata pepatah. Kesan pertama yang baik bisa menentukan kepercayaan customer terhadap kita hingga kedepannya. 

Dua, dengar kan customer kita, aktif dengar kan suara mereka, keinginan mereka, harapan mereka, kecemasan mereka, luangkan waktu untuk berada bersama customer kita, tunjukkan bahwa kita betul-betul ada bersama mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Tiga, penuhi kebutuhan mereka, tepati janji apabila kita akan membantu mereka dalam hal apapun.

Empat, bersikap terbuka dengan ide, input, saran dari mereka. Jika kita tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, sampaikan secara jujur. Berikan alternatif solusi lain untuk membantu mereka

Lima, bersikap dengan cara profesional. Tunjukan dengan cara bertutur kata yang baik, gestur tubuh yang tepat, serta intonasi suara yang percaya diri bahwa kita adalah pilihan terbaik yang customer kita miliki untuk menyelesaikan kebutuhan mereka.

________________________________________________________________________________________________________

Q: Bagaimana seharusnya seorang Alterrans menghadapi komplain ketika apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan ekspektasi customer?

A: Dalam menyikapi komplain, aku punya dua prinsip. Yang pertama, dalam bekerja dan memberikan pelayanan kepada customer, kita juga perlu memahami bahwa komplain adalah hak dasar seorang customer terhadap kita, sehingga ketika kita tidak memenuhi ekspektasi customer, sudah dipastikan mereka akan komplain, itu natural banget dan jangan menjadikan komplain sebagai sesuatu yang negatif.

Yang kedua, buat aku, komplain adalah unstructured honest feedback, it’s a feedback, an honest one biasanya, cuma enggak terstruktur aja. Terstruktur di sini adalah tidak mengikuti kaidah yang menjadikan itu sebuah feedback konstruktif. Aku akan mencoba memberikan struktur dan mengubah kata-kata komplain itu menjadi sesuatu yang lebih positif dan menggambarkan ekspektasi customer, sehingga aku bisa mencerna komplain itu sebagai saran perbaikan yang membangun sekaligus sekali lagi mengecek tentang ekspektasi dari customer. 

Tanpa menyadari dan memegang kedua prinsip diatas, apalagi aku kerja di ranah POPS yang sehari-hari nya deal dengan karyawan sebagai customer, bisa-bisa kita terganggu dan akhirnya kehilangan motivasi bekerja. Kalau POPS-nya aja tidak memiliki motivasi kerja, bagaimana bisa memberikan yang terbaik untuk karyawan.

_______________________________________________________________________________________________

Q: Apa saranmu untuk Alterrans agar bisa selalu bekerja dengan berorientasi pada kepuasan customer?

A: Setiap kita pasti punya customer, baik kita yang karyawan apalagi kalau kita adalah pemilik bisnis. Customer tidak selalu diartikan sebagai seseorang yang membeli produk kita, tapi juga adalah orang-orang yang mempergunakan hasil kerja kita, contohnya rekan kerja kita yang mempergunakan apa yang kita kerjakan, seringnya disebut sebagai internal customer. Hal ini tidak bisa dihindarkan dari keseharian kita. 

Kepuasan customer juga berdampak jangka panjang nih, dimana sudah banyak cerita sukses dari sebuah perusahaan yang selalu mengutamakan kepuasan customer, akhirnya mereka punya customer yang sangat loyal dan dengan sukarela membeli produknya sehingga berdampak terhadap finansial perusahaan. Hal ini juga berlaku sama dengan kita yang bekerja dan memiliki customer internal, kepuasan customer internal kita akan menciptakan suasana kerja yang kondusif dan produktif, karyawan yang engaged dengan perusahaan, yang akhirnya pun akan berdampak baik terhadap produk-produk yang dihasilkan kepada customer eksternal kita.

Jadi, memiliki orientasi kerja untuk memuaskan customer kita itu tidak pernah ada cerita buruknya, yang ada hanya kisah suksesnya. Kenapa tidak kita lakukan saja? Tidak sulit juga untuk dilakukan, semua nya ada dalam kontrol kita, dan bisa dimulai dari diri kita, what are we waiting for?

________________________________________________________________________________________________________

Q: Adakah quote, pepatah, atau kalimat yang menjadi favorit Mbak dan akhirnya menjadi pedoman dari apa yang Mba Puspa lakukan?

A: Ada sebuah quote dari Famous Management Guru, Peter Drucker yang bilang “The most important thing in communication is to hear what isn’t being said,” mendengarkan apa yang tidak terkatakan, dengan kata lain kita memperhatikan bahasa non-verbal seseorang. Bahasa non verbal itu bisa berarti gesture, intonasi, gerakan badan, tatapan mata dan banyak lagi. 

Semakin kita bisa menangkap bahasa non-verbal ini, semakin kita akan dapat memahami situasi lawan bicara kita yang sebenarnya. Dan ini adalah yang aku selalu refer sebagai active listening, bahwa kita tidak semata-mata mendengarkan kata-kata melalui telinga, tapi mata kita juga aktif memperhatikan, mulut kita aktif memberikan respon dan tubuh kita aktif menunjukan antusiasme kepada lawan bicara kita. Sehingga ketika lawan bicara berkomunikasi dengan kita, mereka merasakan kehadiran kita seutuhnya dalam momen itu. 

________________________________________________________________________________________________________

Nah itu dia wawancara lengkapnya di episode kali ini. Gimana? episode kali ini menginspirasi banget, bukan? Terima kasih bagi yang sudah membaca sampai selesai ya. Sampai bertemu di episode berikutnya!

#RealStory Ep.12: Inovasi dari Mata Yosua Hotma

Hi Alterrans,

Kembali lagi di #RealStory episode terbaru. Apakah kamu tahu bahwa setiap tanggal 1 November, Indonesia memeringati hari Inovasi nasional? Nah, untuk itu tim KAMIS pun memilih value Innovation untuk dibahas pada episode ke-12 ini. Kali ini, nara sumbernya adalah our Head of CEO Office, Mas Yosua Hotma. Ada berbagai cerita menarik yang sepertinya sayang kalau dilewatkan. Langsung saja yuk, simak!

________________________________________________________________________________________________________

Q: Ok pertanyaan pertama, berdasarkan pengalaman, banyak orang yang enggak berani berinovasi karena takut gagal, takut salah, atau ya karena kurang percaya diri, menurut Mas Yosua gimana cara mengatasi ketakutan itu?

A: Oke, cara untuk mengatasi takut itu menurut gue ada dua hal. Satu, apa yang lo bisa kerjakan sendiri sebagai yang akan berinovasi, dan yang kedua, apa yang lo bisa harapkan dari lingkungan lo. Jadi, misalnya lo punya tim, what can the leader do supaya tim member itu enggak takut gagal atau salah. 

Nah, biasanya orang itu takut gagal atau salah itu karena merugikan, karena bisa menghilangkan uang banyak, atau gagal di depan banyak orang itu bisa menyakitkan. Jadi people are not usually afraid of failing or being wrong but they’re afraid of the consequences. Jadi ketika lo mau berinovasi, first thing you can do is memastikan your impact of failing itu minim. 

Sebagai contoh, misal lo ingin berinovasi dengan membuat bisnis baru dengan modal sedikit atau cukup, ketika worst case-nya uang modal itu hilang semua, lo harus bisa pastikan bahwa you still have money to eat. Jadi it’s about being smart and ensuring bahwa kalau gagal, you can live to see another day dan lo masih bisa terus berinovasi. 

Nah kalau leader, we need to create the environment di mana you and your team members are encouraged to innovate.  Jadi, kalau lo salah atau kalau lo gagal, satu damagenya ke perusahaan enggak akan besar, ke tim enggak akan besar, dan lo enggak akan dipermalukan. 

________________________________________________________________________________________________________

Q: Nah, ini bisa menyambung dengan pertanyaan selanjutnya. Gimana kalau inovasi yang kita buat tidak mendapatkan respon yang sesuai dengan harapan kita?

A: I think it’s good, itu namanya kita sudah punya hipotesis. Kita sudah punya harapan, misal kalau gue buat ini atau menciptakan ini, respon terbaik atau idealnya adalah ini. Tapi faktanya ternyata kita tidak mendapat respon yang sesuai dengan harapan kita, it means that there’s at least two things we should do ya. 

Pertama, pastikan lo mengerti why. Kalau enggak sesuai harapan ya enggak apa-apa, tapi pastikan lo memang mendapatkan feedback. The worst thing that can happen adalah ketika lo enggak dapat feedback, lo enggak tahu atau apakah inovasi ini sesuai harapan lo, atau bahkan membuat orang hidup lebih susah. Jadi lo tidak mempunyai visibility of the impact. Nah, kalau lo sudah memastikan lo mendapat respon, so you need to figure it out, What did i do wrong?,” “Apakah efek yang gue bayangkan itu salah?,” “Apakah justru orang itu enggak mau hal ini di-solved?.” 

Misalnya, lo menciptakan inovasi orang bisa meeting tanpa harus ketemuan, bicara, atau buka video. Lo bisa mencapai tujuan itu, people can actually do that. Tapi kok responnya negatif? You have done things right, dan itu menciptakan efek yang lo inginkan. Tapi rupanya, that’s not the right thing – that’s not what people want, because people want to hear each other, and see each other’s faces. So you can do things right but that’s just not what people want. 

Kalau seperti itu, ya you need to get back to the drawing board and figure out. Untuk hal yang lo mau innovate ini, is it really what people want or need? 

Kedua, kalau memang misalnya betul yang people want adalah itu, tapi hanya saja innovation yang lo buat tidak mencapai tujuan tersebut, you need to go back to your design board, “What did i do wrong?” “What can I improve in the execution?”.”  

________________________________________________________________________________________________________

Q: Okay, tapi ketika kita mendapatkan respon yang tidak diinginkan, banyak orang yang menjadi kurang percaya diri atau bahkan mundur. Gimana menurut mas Yosua cara untuk bangkit lagi?

A: I think the first principle adalah gimana caranya kita untuk enggak langsung ciut karena rejection. Sekeras apapun itu, you need to know bahwa that rejection atau those rejections yang banyak itu, enggak akan lebih merugikan lo dibanding lo diam di tempat atau lo enggak berinovasi dan akhirnya tertinggal. At the end of the day yang akan lebih lo sesalkan atau put yourself in a worst spot adalah kalau kita tidak berinovasi sama sekali dan kita tertinggal. Diujung semuanya kita bisa menyesal, “Why did we not try at all when we had the chance and the time?.” 

________________________________________________________________________________________________________

Q: Nah sekarang dari sisi yang berbeda, biasanya sebuah inovasi atau perubahan akan menimbulkan pro dan kontra. Adakah tips dari mas Yosua untuk orang-orang yang tidak suka dengan perubahan?

A: Menurut gue ini tips yang sangat cliche, tapi sangat efektif walaupun pada prakteknya susah kalau kita mau terapkan. Caranya adalah kita make sure bahwa pihak yang tidak sependapat ini kita aligned in the very basic needs

Misal semua tim sudah menerapkan waterfall, and then gue mau melakukannya dengan agile. Gue merasa hal itu akan mempermudah, tapi mereka merasa bahwa yang biasa mereka lakukan lebih mudah diimplementasikan dan lebih cepat. Nah, kita bisa bawa itu ke principles yang lebih mendasar lagi. Intinya apa? Intinya kita mau melakukan ini secepat mungkin, atau kita sama-sama want the company to grow and we all become successful. Kalau pilihannya sama-sama yang kedua, berarti kita sebenarnya punya tujuan yang sama dong

Biasanya setelah itu, orang akhirnya akan mengerti dan paham bahwa tujuan kita sama. Kalau sudah seperti itu seharusnya sudah mulai luluh dan open to our suggestions and ideas. Nah, tapi bisa jadi orangnya memang unreasonable, setelah kita bawa ke principles yang lebih mendasar. Kalau we want the company to grow tapi rupanya tujuan kolega kita tersebut berbeda, “Oh, that’s not what I want, what I want is to have an easy life and have no worries,” kalau gitu berarti secara prinsip sudah berbeda and no amount of debate will be productive.

Fortunately kita berada di perusahaan yang menganggap perbedaan itu enggak apa-apa dan enggak membahayakan. So if you disagree with this, then you can join another team, atau lebih ekstremnya lagi, if you disagree with everyone around you–secara prinsip pun– everyone has the opportunity to find other opportunities in other teams, or probably in other companies. Karena hal paling penting adalah tahu prinsip lo, lo tahu hal yang benar dan apa yang lo mau, dan lo berpegang teguh pada prinsip tersebut. Jadi kalau ada yang pro-kontra, caranya adalah kita align melalui principles.

________________________________________________________________________________________________________

Q: Menurut mas Yosua apa sih definisi World Class Talent? Dan inovasi apa yang diekspektasi datang dari seorang World Class Talent? 

A: Definisi world class talent menurut gue itu kata kuncinya di kata world ya. Kalau misalnya kita ibaratkan dunia kerja sebagai satu pertandingan liga, di market atau negara manapun in the whole wide world lo ditempatkan–for your specific expertise–lo tetap akan menjadi value adding asset. I considered that world class talent

Misalnya, lo specialist di bidang Culture & Engagement, kalau lo berada di startup atau lo in a well established multinational company, you will still immediately add value because you are a world class talent. Apakah kalau seseorang Ivy League-graduate bekerja di a very strong tech company di US, otomatis world class? Belum tentu! Let’s say kita tempatkan dia di lingkungan startup baru di sebuah market yang masih frontier seperti Vietnam, bisa saja dia enggak tahu first thing to do-nya apa, dan dia clueless tanpa infrastruktur yang lengkap dan guidance dari other high-performing talents. Berarti dia belum sampai world class talent, karena dia enggak bisa perform as well in some parts of the world that are less developed. 

Nah untuk inovasi, lagi-lagi kata kuncinya ada di world. Di dunia yang besar ini, you can’t pretend that you know everything. Lo masih harus memiliki rasa penasaran terus bahwa there is morethat’s what a world class talent does. Lo enggak mudah puas, selalu mengatakan bahwa ini belum sempurna, dan bahkan kesempurnaan itu tidak bisa dicapai. So you need to continue to innovate how you think and even innovate yourself, that is what I would expect from a world class talent. Because the world is big and constantly changing, it’s too much for anyone to fully master at any given moment. Because it’s too much to master, it means there’s always room for improvement and to be better. That’s how you continue being a world class talent. 

________________________________________________________________________________________________________

Q: Okay, tadi Mas Yosua juga sempat bilang bahwa seorang leader harus bisa membuat sebuah environment yang membuat tim membernya mau berinovasi. Memang menurut mas Yosua gimana sih seharusnya seorang leader meng-encourage tim membernya untuk terus berinovasi?

A: Ini mungkin akan menjadi jawaban yang cliche, tapi menurut gue caranya adalah dengan leading by example. I cannot inspire, atau memotivasi tim gue dengan– “Wah, lo enggak boleh nyaman dengan status quo, you need to innovate, or find new ways to do these things better atau add more value.” –kalau gue sendiri terlihat nyaman dengan cara yang gitu-gitu aja. 

Apakah artinya gue harus come up with new ideas langsung everyday, everynight? Ya bisa, tapi bisa dimulai dengan hal simple. Tim gue harus melihat gimana gue menerima ide dari stakeholders. Apakah gue menerima dengan pikiran terbuka? Apakah gue naturally curious? Apakah gue main tolak mentah-mentah saja? Nah, the way i talk to people yang memberikan ide, atau cara gue interaksi dengan orang lain untuk sharing ide baru, itu bisa membantu gue set the tone ke tim gue sendiri. Bahwa di tim ini, inovasi itu bukan hanya diperbolehkan, tapi inovasi itu dianjurkan. Selain itu, gue juga harus tetap continue innovating myself and then i make it clear, i make it well accepted bahwa di sini, di tim ini, lo bisa fail safely without severe judgement or damage.

________________________________________________________________________________________________________

Q: Mas Yosua adakah saran untuk Alterrans yang cenderung masih belum berani untuk mengeluarkan ide atau inovasinya?

A: Saran gue untuk yang belum berani mengeluarkan inovasinya, i think i will give a very pragmatic advice yang mungkin tidak sedap didengar oleh sebagian orang. Bagi Alterrans yang belum berani berinovasi, try new things, or transform things for the better, you should. Why? Because somewhere out there, there is someone trying his/her best to innovate, to disrupt and change the way we do things. At the end of the day, kalau bukan kita yang terus maju, ya someone somewhere will disrupt us and we will lose our advantage, and potentially die as a business.

Bukan hanya sebagai sebuah bisnis, tapi juga sebagai individu, pasangan, orang tua, warga negara, bahkan sebagai sebuah negara, kita akan tertinggal kalau kita stop innovating. Because no matter what you do, no matter what you are afraid of, things will continue to change, you need to be the one driving change, or change will kill you. 

________________________________________________________________________________________________________

Q: Terakhir, mas Yosua sebagai individu adakah sebuah kalimat yang menjadi pegangan hidup mas Yosua?

A: Mungkin ini lumayan cliche juga, tapi if anything is worth doing, it’s worth doing well. Apapun itu, dari cuci piring sampai creating a new idea and executing a long term growth plan for a global company. Kalau misalnya lo enggak percaya bahwa you can be the best and you can give your best, mendingan jangan menerima challenge itu, karena bisa jadi lo cuma menghabiskan jatah orang – orang yang bisa achieve more disitu.

________________________________________________________________________________________________________

Nah itu dia wawancara lengkapnya, seru kan? Seperti yang tim KAMIS sudah janjikan akan ada beberapa cerita seru dari pada leaders di Alterra nih. Siapa kah yang akan menjadi nara sumber selanjutnya? Stay tuned terus ya!

#RealStory Ep.11: Pesan Bang Badar Tentang Champion

Hi Alterrans,

Gimana kabarnya? Semoga semua tetap sehat-sehat saja ya. Kita sampai di episode terbaru #RealStory nih, tidak menyangka ternyata sudah sampai di episode 11. Sebelumnya, kita sudah membahas semua values, untuk berikutnya tim KAMIS mau mewawancari beberapa leader di Alterra untuk membahas values nih. Episode kali ini, tim KAMIS mewawancarai Bang Badar dan berbincang soal value Champion. Ada beberapa pesan yang ternyata ingin Bang Badar sampaikan lho melalui #RealStory kali ini. Yuk langsung disimak!

___________________________________________________________________________________________________

Q: Apa sih definisi Champion menurut Bang Badar?

A: Definisinya mungkin akan berbeda untuk masing-masing orang, tapi kalau dari point of view gue sebagai profesional, Champion itu adalah orang yang bisa terus menaklukan tantangan yang ada dan juga rivalnya. Rival di sini bisa banyak hal, dari peers, challenge dalam pekerjaan, atau bisa jadi dirinya sendiri, tentunya semuanya dalam konteks positif ya. Jadi terkadang seorang Champion tidak melihat orang lain sebagai kompetitornya, tapi bagaimana ia bisa terus menjadi the better version of themselves

___________________________________________________________________________________________________

Q: Nah pertanyaan berikutnya, banyak orang yang enggak ambisius. Jadi enggak punya sifat kompetitif juga, ibaratnya ketika bekerja ya cuma mau bekerja seperti biasa saja.  Menurut Bang Badar gimana sih cara menumbuhkan sisi ambisius dalam diri? 

A: Ini yang ingin gue garis bawahi, sering banget orang bercanda “Ah, ambi banget sih lo!,” yang menurut gue kerap terjadi dan kata-kata ambisius jadi memiliki kecenderungan yang lebih negatif. Padahal kalau gue sendiri ditanya ambisius atau enggak, ya gue ambisius. Gue akan clearly bilang kalau gue orang yang ambisius. Banyak juga kenalan gue yang bilang “Lo tuh selain ambi, lo juga keras banget untuk mengejar apa yang lo mau.” 

Karena menurut gue yang punya kontrol terhadap diri kita adalah kita sendiri, selama kita enggak punya ambisi berarti kita akan diatur atau dimakan oleh ambisinya orang lain. Jadi kalau kita berbicara dalam hal pekerjaan, kita punya kontrol terhadap output pekerjaan kita.

Gue ingat, Mas Ananto dan Jefrey sering ngomong ke gue, control the process control the outcome. Kalau lo enggak ambisius untuk kontrol proses dalam lo bekerja, hasil akhirnya pun enggak akan bisa bagus. Kalau kita berbicara dalam konteks agama (menurut gue ini salah satu prinsip yang harus dipikirin juga), manusia itu diciptakan untuk beribadah dengan ambisi masuk surga dong pastinya. Gimana caranya mencapai itu? Ya lo harus berambisi jadi orang baik, cari pahala, menahan diri untuk melakukan hal yang tidak baik. 

Kalau gue ditanya lagi, gimana cara untuk menumbuhkan ambisi pada diri? Ya liat ke diri lo. Lo mau hidup lo gini-gini doang atau lo ingin berubah? Kalau lo ingin berubah lebih baik lagi, kuncinya memiliki ambisi dan punya life goals. Dulu gue masih suka kepikiran “Ah, masa sih harus segitunya?,” tapi setelah ngobrol dengan banyak orang yang jauh lebih pengalaman dan lebih dewasa–salah satunya mas Ananto– gue akhirnya sadar. Karena dia memberikan tantangan untuk gue buat ambisi dan life goals mau gimana, akhirnya gue jadi kebayang by this time or by this age gue harus seperti apa, and in order to become like that, gue harus melakukan apa. 

Menurut gue ambisi bisa jadi panduan menjalankan kegiatan sehari-hari, baik di kehidupan personal maupun profesional. Ini gue kasih contoh ya misalnya kalau di olahraga, ada Ronaldo sama Messi, mereka itu 10 tahun terakhir konsisten selalu peringkat atas di sepak bola. Ya itu karena mereka mendorong dirinya enggak cuma jadi juara atau top scorer saja, tapi gimana caranya supaya tahun depan tetap berada di posisi itu. 

Gue ada contoh lagi dari PilPres Amerika dulu. Waktu itu George Bush melawan Al Gore yang dulu wakilnya Bill Clinton. Al Gore itu kalah pada saat PilPres, mungkin George Bush dianggap sebagai pemenang pada saat itu. Tapi ternyata pada masa akhir jabatannya Bush mewariskan krisis ekonomi ke pemerintahan selanjutnya, sedangkan Al Gore yang dilihat sebagai “pecundang” justru end up dapat Nobel Prize. Kenapa? Karena ambisi Al Gore clear bahwa dia ingin menggunakan kekuasaannya untuk solving climate change, meskipun tidak melalui jalur PilPres. Makanya sekali lagi ambisi itu macam-macam, itu bisa jadi motivasi lo untuk melakukan sesuatu yang lebih baik atau justru sebaliknya. 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Tapi memang sebenarnya apa sih pendapat Bang Badar mengenai stigma ambisius yang justru dianggap negatif ini?

A: Ini gue pun sempat mengalami, begitu kita pengen terlihat menonjol atau berkontribusi lebih besar, orang pasti bilang gue ambisius banget atau ngapain kerja cuma bikin kaya si pemegang saham, menurut gue sih ya jangan sampai mindset lo cuma sampai situ doang. Bayangin kalau dia berambisi kerja seolah dia pemilik perusahaan, sense of ownership-nya gitu ya, dia akan melakukan apapun–dalam konteks positif ya–untuk memastikan apa yang diinginkan perusahaan bisa tercapai dan apa yang ia inginkan juga bisa tercapai. 

Misalnya gue sendiri, dengan background engineer pada saat gue mau join Sepulsa, gue bilang ke Mas Ananto dan Jefrey bahwa gue pengen satu tahun pertama enggak ada satu pun BD selain gue. Karena gue punya ambisi gimana caranya dalam satu tahun Sepulsa survive, bisnis grow, dan gue pun grow jadi seorang businessman. Ketika lo punya ambisi untuk diri sendiri dan perusahaan, lo akan bekerja like you own the company and you will have a clear contribution. Jadi ketika bangun, gue tuh setiap pagi mikir “BD cuma lo doang Dar. Kalau lo sakit atau enggak kerja, ini bisnis enggak growing.” Gue sudah menetapkan ambisi gue di depan kedua Co-Founder, akhirnya itu jadi motivasi gue untuk jadi the better version of myself dan mempelajari lebih banyak ilmu baru lagi. 

Gue selalu berharap orang di sekitar gue enggak ada yang berkeinginan untuk jadi orang yang mediocre. Setidaknya orang punya life goal-lah, misal kayak gue pengen menikah umur berapa, nanti punya anak mau didik seperti apa, ya itu kan ambisi. Tapi ya karena kata ambisi dianggap menjadi sesuatu hal yang negatif, kadang ketika disenggol sedikit ya jadi mundur. Padahal biasanya orang-orang yang sering nyenggol orang lain dengan kata ambisi adalah orang yang lebih ambisius lho karena dia pengen menang haha

___________________________________________________________________________________________________

Q: Selain ketika Bang Badar mendapatkan feedback konstruktif, gimana sih cara lo untuk mengevaluasi diri supaya jadi lebih baik lagi?

A: Ini agak cliche, tapi gue mengalami ini setelah gue menikah. Kadang kita merasa udah oke banget, padahal sebenarnya banyak hal yang ada di blind spot kita. Kalau gue selalu merasa bahwa mengevaluasi diri juga harus melihat orang-orang terdekat kita. Kelilingi hidup lo dengan orang-orang yang benar sehingga mereka bisa kasih feedback konstruktif, dan supaya lo juga bisa merasakan apakah lo menjadi orang yang baik dengan mereka mengapresiasi lo. 

Contohnya setelah gue menikah, gue banyak dapat masukan dari istri gue untuk hal-hal yang gue anggap “biasa.” Gue jadi terpikir selama ini berarti banyak hal yang belum benar. Tapi ya itu karena enggak ada orang memerhatikan, akhirnya kita enggak tahu. Akhirnya setelah itu gue merefleksikan ke diri gue sendiri lagi, berarti selanjutnya gue harus berhati-harti dari berbicara, bercanda, sampai berpenampilan lebih baik karena gue seorang representatif perusahaan, sehingga gue harus tahu gimana caranya menempatkan diri dengan lebih baik lagi. 

Kalau sudah ada feedback konstruktif, setelah itu ya balik ke diri lo juga, seberapa sadar diri lo dengan kemampuan lo. Di Alterra kan sudah ada mekanisme feedback juga, yang gue pengen tekankan ke Alterrans adalah kalian harus jujur sama semua orang. Kenapa? Karena dari ketidakjujuran itu lah, orang jadi enggak berani atau enggak sadar untuk mengevaluasi. 

Misal anggaplah gue punya tim dan gue selalu merasa kalo gue manager yang baik karena tidak pernah ada komplen atau masalah, jadi terlihat fine. Tapi bisa jadi itu karena tim gue enggak berani bilang karena takut, merasa enggak bakal didengar, atau menganggap gue orang yang tidak bisa menerima feedback. Kalau gue bisa membuka diri ke tim, otomatis tim member gue akan berani memberikan feedback ke gue, dari situ gue akan bisa mengevaluasi diri. Kalau hal yang menurut gue oke tapi ternyata di depan orang lain enggak, ya berarti gue harus evaluasi. 

Kuncinya itu kita harus punya pasangan, rekan kerja, atasan, bawahan, atau sahabat yang open. Kalau kita punya partner yang benar, harusnya sih bisa berjalan dengan lancar. 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Oke, gimana sih cara lo menekankan ke Alterrans supaya mereka mau belajar dan terus belajar lagi?

A: Cara paling gampang itu kita harus melihat ke luar sana bahwa situasinya enggak seenak yang kita alami sekarang. Kita juga harus berpikir, apakah yang sudah kita lakukan selama ini sudah membuat kita jadi pribadi yang lebih baik lagi atau membuat perusahaan lebih baik lagi? Kalau orang yang ingin terus belajar, dia biasanya mencari pembanding. Misal gue part of management team, terus gue mencoba membandingkan diri gue dengan manajemen tim di perusahaan lain. Apa saja yang mereka lakukan untuk membuat perusahaannya lebih besar daripada Alterra? Nah dari situ kan gue bisa tahu missing ingredients yang dia punya tapi enggak ada di gue, sehingga gue harus belajar lagi. 

Selain itu misal nih gue dengan background engineer dan akhirnya jadi BD, kalau gue enggak punya ambisi di bidang ini pasti gue enggak termotivasi untuk belajar. Gue kan harus tahu gimana cara mulai bisnis, reach out klien, email orang, motivasinya kan harusnya untuk itu. 

Intinya gue akan balik lagi ke tujuan dan ambisinya apa dulu? Kalau enggak punya ambisi, lo enggak akan mau belajar karena lo sudah merasa diri lo cukup. Kalau lo udah merasa cukup pasti apapun yang dikasih tau sama orang lain enggak akan lo dengarkan. Kuncinya adalah lo harus selalu sadar apa yang menjadi ambisi dalam hidup lo dan apa yang lo merasa bisa dilakukan untuk hidup lo jadi lebih baik lagi. Di situlah akan terjadi pembelajaran. 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Tapi gini kadang ada orang yang merasa sudah bekerja keras, tapi ternyata dipandang orang belum cukup juga. Menurut lo gimana dan harus apa? 

A: Ini juga pernah terjadi di hidup gue, yang gue selalu lihat pelajarannya adalah jangan jadikan orang lain itu sebagai benchmark terhadap kebahagiaan kita. Gampangnya akan selalu ada orang yang merasa kita itu enggak pernah oke atau fulfill ekspektasi dia. 

Pertanyaannya, gimana kalau ternyata atasan atau bahkan perusahaan yang bilang kita belum cukup? Ya kita harus revisit. Cek lagi OKR/KPI yang dikasih ke kita itu apa. Kalau memang kita enggak achieve ya kita harus admit. Tapi kalo case-nya sudah tertulis di OKR/KPI achieve dan orang masih bilang kita kurang, then we have to fight for ourselves. Orang yang punya ambisi dia pasti akan fight dan membuktikan apa yang sudah dilakukan berikut dengan kontribusinya. Tapi kadang banyak atasan yang terkesan delusional atau teman kerja yang kompetitif banget, sehingga masih keluar kata-kata kurang ini itu. Yang penting kita harus manage expectation. Coba samakan ekspektasi sama orang itu supaya target lo pun clear

Ini pesan gue untuk para leaders dan managers, mungkin tujuannya baik karena ingin tim membernya lebih ngepush diri mereka lebih jauh lagi, tapi konteksnya enggak boleh gitu. Ada dua hal ya, yang pertama kalau orang dasarnya tujuannya positif, atasan enggak boleh melakukan itu ke timnya, karena itu akan membuat yang diekspektasi merasa salah saja terus. Sebaliknya kalau lo sebagai orang yang diekspektasi, lo harus tanya balik, ekspektasi atasan/teman kerja lo terhadap lo itu apa? Kalau ternyata dari awal dia sudah punya ekspektasi yang enggak realistis, ya no debate, lo enggak akan bisa memenuhi ekspektasi orang-orang seperti itu. 

Dengan kondisi kita yang work from home, perusahaan juga semakin besar, menyamakan ekspektasi dan menetapkan OKR/KPI yang jelas itu penting. Sehingga lo bisa tahu kalau orang lain bilang lo enggak cukup, ya enggak cukup di mana? Harus tanya balik. Kalau gue sih seperti itu, karena gue tipe orang yang enggak suka berdebat sama orang tanpa dasar.

___________________________________________________________________________________________________

Q: Wih thank you banget, adakah pesan terakhir dari Bang Badar yang ingin disampaikan?

A: Mungkin gini… kalau lo enggak punya life goals atau ambisi dalam hidup lo, percaya deh sampai kapan pun lo enggak akan bisa jadi pemenang. Lo juga harus punya ekspektasi terhadap diri dan hidup lo. Karena kalau enggak punya ambisi atau ekspektasi, lo enggak akan tahu rasanya jadi pemenang atau bahkan apakah lo bisa jadi pemenang atau enggak. Intinya sih, jangan jadikan standar lo jadi pemenang atau enggak itu dari orang lain, tapi jadikan untuk diri sendiri. Kalau lo sudah jadi the better version of yourself even though you lose in a competition, then you still be a winner. Kenapa? Karena tujuan lo bukan cuma untuk memenangkan kompetisinya, tapi menantang diri lo untuk jadi lebih baik lagi. 

___________________________________________________________________________________________________

Nah itu dia Alterrans pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh Bang Badar, gimana menginspirasi banget, bukan? Semoga setelah membaca ini teman-teman langsung termotivasi untuk menjadi Champion ya!

Sampai bertemu di #RealStory episode berikutnya!

Tiga Bulan Berharga di Alterra

Sebelum magang di Alterra, saya tidak mengerti bagaimana cara membuat competitor benchmark, product analysis, feature benchmark. Saya juga tidak pernah mengerti bagaimana pemanfaatan data di BPS (Badan Pusat Statistik) dan lembaga-lembaga lain untuk kepentingan riset. Setelah saya magang sebagai Innovation Research Analyst di Alterra, saya jadi mengerti bagaimana mengumpulkan dan memanfaatkan data-data yang ada, agar dapat membuat suatu kesimpulan dan saran yang dapat berguna untuk keberlanjutan suatu bisnis. Saya juga akhirnya diajarkan bagaimana caranya membuat competitor benchmark, product analysis, feature benchmark, dan masih banyak lagi. Selain itu, di Alterra saya juga belajar berkomunikasi yang baik dengan atasan dan bagaimana berkolaborasi dengan baik bersama teman sesama magang.

Menurut saya, Alterra sangat mendukung kami para intern. Saya merasa tidak ada perbedaan antara kami, anak magang, dengan teman-teman yang bekerja full time. Alterra juga sangat membantu menyediakan berkas-berkas persyaratan magang yang diberikan oleh pihak kampus. Sedihnya ketika saya magang di masa pandemi COVID ini, saya jadi tidak merasakan atmosfer bekerja secara langsung di kantor. Overall, Alterra adalah salah satu tempat terbaik bagi teman-teman magang yang ingin mengetahui bagaimana dunia pekerjaan yang sesungguhnya.

Terima kasih untuk Alterra yang telah memberi ruang bagi kami anak magang untuk berkarya. Suatu kebanggaan tersendiri bagi kami telah dipercayakan untuk memegang beberapa projek sepenuhnya. Semoga kedepannya Alterra semakin berjaya dan saya bangga pernah menjadi bagian dari Alterra. Terima kasih juga untuk Kak Lina, supervisor-ku yang selalu mendukung, mendorong dan membimbing saya untuk dapat bertumbuh kembang di tim IRA. Untuk teman-teman di tim Innovation, terima kasih banyak telah memberikanku ruang untuk menjadi bagian dari tim kalian ya!

#RealStory Ep.10: Integrity Menurut Opini Chiara Tanudjaja

Hi Alterrans,

Dalam episode #RealStory kali ini, tim KAMIS akan berbincang dengan salah satu Alterrans yang berasal dari divisi Corporate Strategy. Yup, ia adalah Chiara Nadya Tanudjaja. Kali ini #RealStory-nya masih membicarakan soal value Integrity. Enggak usah lama-lama, yuk kita lihat saja apa opini Chiara mengenai value yang satu ini!

___________________________________________________________________________________________________

Q: Menurut seorang Chiara, apa sih pentingnya memiliki integritas? 

A: Menurutku integritas itu sesuatu yang sangat krusial ya untuk kita semua, baik di konteks profesional maupun di konteks personal. Karena integritas itu adalah sesuatu yang membuat orang itu bisa percaya sama kita, entah itu coworkers atau teman, ya semua orang. Istilahnya integritas itu menjadi sebuah identitas juga. Dan menurutku kalau kita semua memiliki integritas, misalnya kita melakukan sesuatu dengan kejujuran, kita juga pasti lebih peaceful hidupnya, dan tentunya bisa lebih bangga dengan apa yang kita capai, karena kita tahu kalau misalnya apa yang kita capai itu didapatkan dengan cara yang benar. 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Sebagai Alterrans di divisi Corporate Strategy, sehari-hari kamu pasti berkutat dengan data confidential perusahaan. Apa yang kamu lakukan untuk mencegah adanya penyalahgunaan informasi? 

A: Sebelumnya, memang betul banget karena dari awal pertama kali aku masuk tim Corporate Strategy, memang langsung diinfokan apa yang dibicarakan di sini, informasi apa yang didapat, benar-benar harus stay di sini, karena memang banyak yang sensitif. Nah, kalau gimana caranya mencegah adanya penyalahgunaan informasi, sebenarnya yang pertama kita lebih hati-hati banget kalau sedang mengirimkan informasi. 

Kedua, mungkin yang lebih susah adalah be mindful kalau misalnya kita sedang berbicara dengan orang lain, khususnya ketika conversation-nya lebih casual. Kadang kan kalau ngomongnya lagi santai-santai ya bisa saja keceplosan. Nah, pada saat momen itu kita harus aware untuk apa yang kita ingin bicarakan, dan sebisa mungkin untuk kita enggak membicarakan sesuatu yang bisa mentrigger orang lain untuk menjadikannya bahan gosip haha, atau sesuatu hal lain yang kurang diperlukanlah. Dan misalkan kalau ada orang lain yang bertanya ke kita, dan pada saat itu kita masih tidak yakin apakah boleh ngomong atau enggak, mendingan enggak usah ngomong haha. Biasanya aku menyiasatinya juga dengan tanya ke manager “Ini sebenarnya boleh enggak sih dikasih tau ke orang luar?.” 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Cerita dong apa sih bentuk Integritas yang paling terlihat  di tim kamu? 

A: Ya tentu salah satunya adalah dengan kita selalu menjaga informasi, tapi kalau menurut aku untuk day to day-nya adalah kita harus bertanggung jawab dan mempunyai ownership yang tinggi atas hasil kerja kita masing-masing. Karena dengan begitu bisa menunjukkan komitmen kita dan keseriusan kita dalam bekerja, jadi ketika kita mengerjakan sesuatu ya hasilnya itu harus bisa dipertanggung jawabkan. Dalam artian kalau misal kita ada sesuatu yang enggak yakin, ya bilang jujur dari awal daripada membuat alasan atau membuat sesuatu yang enggak ada gitu, ya making up excuses

___________________________________________________________________________________________________

Q: Apa kamu pernah merasakan diskriminasi? Apa yang kamu lakukan ketika merasakan diskriminasi?

A: Sejauh ini memang belum pernah sih merasakan diskriminasi, menurutku di Alterra oke-oke saja sih enggak pernah ada sesuatu yang mengganggu, apalagi diskriminasi. Cuma kalau ditanya aku mengalami itu apa yang akan aku lakukan di kemudian hari, pertama-tama mungkin kita melihat apakah ini honest mistake-nya seseorang atau mereka ya memang berulang-ulang dan intentionally melakukan itu gitu. Kalau memang dari awal mereka memiliki intensi untuk melakukan diskriminasi, ya aku akan berusaha untuk confront ke orang tersebut sih. Jadi aku enggak mau diam saja. Caranya pasti ya tergantung situasi ya, entah kita ngomong langsung ke orangnya, atau misalnya kita merasa butuh bantuan ya bisa ngomong dulu ke direct report dan address the problem

___________________________________________________________________________________________________

Q: Terakhir, kamu ada enggak sih semacam motto yang menjadi fondasi dari apapun yang kamu lakukan selama ini?

A: Emm.. ada sih, anything that you do, do it wholeheartedly, pokoknya harus lakukan sepenuh hati karena itu akan menjadi jejak kita, dan bagaimana orang lain melihat kita. And be authentic. Enggak usah dibuat-buat, ya  jadi diri sendiri lah. 

___________________________________________________________________________________________________

Nah itu dia wawancara lengkap tim KAMIS bersama Chiara. Untuk selanjutnya, enaknya wawancara siapa lagi ya? hmm.. tunggu aja ya di episode berikutnya!

#RealStory Ep.9: Mengulik Integrity Bersama Sang CEO

Hi Alterrans,

Di bulan September ini kita akan membahas mengenai value Integrity. Jika dideskripsikan, mungkin value yang satu ini terbilang mudah. Tapi pada kenyataannya, belum tentu lho. Untuk itu, tim KAMIS kembali berbincang dengan CEO kita, Mas Ananto Wibisono. Simak yuk wawancara lengkapnya!

___________________________________________________________________________________________________

Q: Mas Ananto sebagai CEO dari Alterra, gimana cara Mas untuk menumbuhkan budaya transparan dan jujur pada tim yang Mas pimpin?

A: Sebenarnya gampang, ya gue ngasih contoh untuk selalu jujur. Gue nggak pernah bohong, atau paling tidak ketika gue nggak bisa mengatakan yang sejujurnya, gue akan memberitahukan terlebih dahulu “Guys, this is still confidential, this is something yang gue belum bisa share terlebih dahulu.” Gue juga akan dengan jelas menyebutkan alasannya kenapa. 

Jadi, gue akan mencoba untuk nggak menyebutkan omong kosong. Walaupun gue mencoba begitu, masih banyak orang yang salah mengartikan, padahal gue sudah berbicara jujur. Jadi masih aja ada orang yang menganggap gue keras lah, atau bahkan terlalu lembek. Makanya gue selalu bilang sama orang “Bro, gue itu selalu apa adanya. Apa yang gue bicarakan, ya biasanya itu sesuai dengan kejadian yang ada.” Kalaupun memang ada yang tidak bisa gue share, I will tell

Waktu itu gue sempat ada sesi sama salah satu tim, mereka banyak memberikan gue pertanyaan. Ada pertanyaan yang mungkin nggak bisa gue jawab, ya gue kasih alasan kenapa gue nggak bisa jawab. Kenapa? Karena pertanyaan tersebut menyangkut sesuatu yang kita masih pikirkan, dan belum kita lakukan. 

Bukannya gue nggak mau jujur, tapi gue memberitahukan gitu kalau memang ada hal-hal yang belum saatnya kita share, ya it doesn’t mean gue menjadi tidak jujur. Kembali ke pertanyaan lagi, cara gue menumbuhkan ya gue memberikan contoh. Gue mencoba jujur dan responsible. Kalau gue membuat sebuah kesalahan, then i must admit that i made a mistake. Integrity itu bukan sesuatu yang hanya di omongan saja, memang ini harus dilakukan. Orang lain yang akan melihat apakah yang kita itu pribadi yang memiliki integritas atau tidak. 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Kalau Menurut Mas Ananto, gimana sih cara untuk menjadi orang berintegritas?

A: Harus punya mental yang teguh dan iman yang kuat hahaha…. Gue nggak mencoba untuk menjadi politikus, gue juga tidak mencoba untuk saving the world, jadi kalau dalam konteks Alterra, i think it’s easy

Kalau misal kita berbicara soal politikus, ya itu susah banget. Tapi kalau berbicara untuk menjadi orang yang berintegritas di Alterra itu ya gampang kok. Lo jujur, bertanggung jawab, berbicara apa adanya, terus lo mengingatkan misal ada yang macam-macam enggak sesuai aturan, itu saja kok. Even kalau lo tidak setuju dengan aturannya, ya tidak apa-apa, diskusikan saja. Boleh kok, tapi ya beneran harus dilihat apakah aturannya yang salah atau memang lo yang salah mengartikan aturannya. 

Of course gue juga nggak bilang, gue 100% orang yang baik. Gue juga merasa bahwa pasti banyak orang lain yang lebih baik daripada gue. Ya kita mencoba untuk menjadi the best version of ourselves. Its okay if you make a mistake, tapi ketika lo sadar lo melakukan kesalahan ya lo harus admit it, fix it kalau lo bisa, kalau nggak bisa, ask for help dan ya udah move on. Belajar dari kesalahan tersebut, sehingga lo tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Misalnya–for whatever reason– lo abuse your power. Anggaplah lo tidak sadar bahwa lo abuse your power. Tapi setelah lo sadar, ya belajarlah untuk tidak mengulanginya kembali. Nggak ada orang yang sempurna, kok. Semua orang pasti akan membuat kesalahan, tapi ketika lo punya integritas, lo akan menjadi orang yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Kalau Mas Ananto sendiri, pernah nggak sih menemukan keadaan di mana Mas susah untuk mempertahankan integritas? Gimana cara Mas Ananto menghadapinya?

A: Kalau aku bilang sekarang, aku sih belum pernah merasakan yang gimana banget. Again, yang gue utarakan adalah dalam lingkup in my entire life ya. Apakah gue pernah menyesali hal-hal yang gue lakukan in the past, karena gue rasa itu nggak bagus? Iya. Tapi gue juga nggak pernah yang kayak “Wah ini.. I need to do the right thing,” ya pada intinya gue sih selalu berpikir, gue akan selalu mencoba do the right thing. Tapi walaupun gue kadang-kadang memutuskan suatu hal yang setelahnya gue berpikir “Wah, kayaknya salah nih,” ya berarti gue harus belajar lagi, supaya gue make a better decision

Jadi kalau disambungkan dengan pertanyaan, apakah gue pernah? Jawaban gue mungkin ya tidak pernah. Karena gue selalu merasa bahwa, gue selalu mencoba melakukan hal yang benar. Tapi ya terkadang apa yang gue lakukan 10 tahun lalu yang gue percaya itu benar, ketika sampai di waktu sekarang, gue jadi merasa itu nggak benar. Maka dari itu gue selalu belajar kan. 

Tapi apakah gue pernah mengalami kesulitan memutuskan memilih pilihan antara benar dan salah, atau dua hal yang sangat kontradiktif harus gue pilih, gue sih rasanya selalu pilih yang benar ya hahaha. Gue nggak inget gue pernah pilih yang salah sih. Jadi gue so far selalu berhasil mempertahankan integritas gue, kecuali pilihannya nggak bener dua-duanya, mungkin gue bingung tuh pilihnya hahahah

Makanya sebenarnya integrity yang gue maksud itu sangat simpel. Kalau dibaca di key behaviours-nya sebenarnya itu berisikan hal-hal simpel kan. Ini gue sambil liatin pamflet yang gue tempel di samping monitor gue, nih. Yang pertama, berperilaku jujur dan menjunjung tinggi moralitas, bertanggung jawab atas semua perbuatan dan perkataannya, memperjuangkan hal yang benar bahkan dalam situasi yang sulit, hal yang benar ya dalam konteks company ya gampang kan? Hal yang benar ya jangan sampai lo menyalahgunakan posisi lo, mengambil data orang. Menghindari dan menolak secara tegas segala bentuk diskriminasi, gampang kok.

Meskipun sometimes orang bisa terbawa, misal, karena kita bercanda, kadang menjadi mendiskriminasi orang. Tapi kalau menemukan kejadian seperti ya admit kalau itu salah, dan belajar supaya tidak mengulanginya lagi. Yang terakhir, tidak menyalahgunakan kewenangan, data, informasi, dan/atau aset Alterra untuk kepentingan pribadi. Nah mungkin poin yang satu ini bagian enggak gampangnya karena kadang kita suka menggampangkan. Again, kalau dijabarkan seperti ini, gue dari tadi tidak membicarakan hal-hal yang terlalu tinggi, yang sehari-hari saja. Jadi sebenarnya semua itu gampang, kok. 

___________________________________________________________________________________________________

Q: Terakhir, apa yang Mas Ananto lakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan informasi? 

A: Gue nggak percaya sama orang, haha. Enggak sih, maksudnya gue pun enggak percaya sama diri gue sendiri untuk itu hahaha. Jadi artinya ya kita harus meminta orang lain untuk membuat SOP, policy, dan ada orang yang secara berkala “mengaudit” semua orang. Dan kalau misalnya nggak ada orang yang netral di sini, ya gue akan mendatangkan auditor dari luar sana, untuk mengaudit whatever we have right now. Dan kita secara teknikal harus make sure, bahwa platform yang kita punya harus selalu oke, SOP dan policy pun benar, jangan sampai ada celah untuk disalahgunakan sama orang. 

Karena, kalau kata bang Napi “Kejahatan bukan terjadi karena orangnya, tapi ada karena kesempatannya.” Menurut gue itu benar banget sih, jadi sebisa mungkin kita jangan memberikan celah. Make sure langsung kasih tahu bahwa enggak akan bisa lo mencuri data di sini, karena pasti akan langsung ketahuan. Harus kayak gitu sih, ya makanya gue bahkan tidak percaya dengan diri gue sendiri. Makanya, harus ada orang yang juga mengaudit gue. At least gue let my board of director untuk memastikan, ya gue benar juga. Makanya diaudit semua segala macam, jadi ini bukan hanya soal informasi ya, semuanya.

 

Nah itu dia wawancara lengkapnya. Apa yang kamu pelajari dari #RealStory episode ini? Semoga setiap episode #RealStory bisa menjadi pengingat sekaligus memotivasi kamu untuk terus menumbuhkan value Alterra sehari-hari ya. Akan ada satu episode lagi yang bercerita mengenai value Integrity, lho. Tunggu ya!

Grow & Beyond!

Every single person knows WHAT they do. Some people know HOW they do. But very few people know WHY they do what they do. This fact has been surprisingly always become a ‘wake-up call’ to me as a knowledge worker. I’ve been working in different companies with different industries and I figure out that WHY is such an important factor to every employee. If we talk about WHY, we talk about a sort of a truly deep dive on Reason for Being that inspires on Vision & Mission that translates into Values and drives the Behaviours.

If a question jump on me “Have you found your WHY in Alterra?” I would say YES. Well.. at least that’s what I feel now. Here is the thing: I have a mission to help people find and crack their best potential. And to make it happen, I also need to help the working environment and its culture that can support Alterrans to be their best. Hence, during my time as Alterrans I was exposed on this circle on how to collaborate as a cross-functional team, building a feedback culture from grass-root, a safe to fail for the team and facilitate how we adapt quickly to move forward. The same commitment I put to my team members as a leader, by ensuring them to maximize their learning & able to grow through frequent feedback session.

The joy of its dynamic process and the eagerness of Alterrans to keep learning toward how they work as a team are always inspiring to me. But, there is another thing that inspires me more and yet what makes me really proud of: Our Leaders, especially our Co-Founders, Ananto & Jefrey. They believe that Alterra is going to be The Best Place to Work yet become The Best Technology Company in Indonesia. These two reasons that they always echoing to each and every one of us, Alterrans, either in All Minds Meeting or simply when we have informal discussion with them.

People don’t ‘buy’ what you do, people ‘buy’ WHY you do it. And that’s exactly what Alterrans do. Our Co-Founders’ WHY has actually shaped into one word: GROW. This word is such a bind between my personal’s WHY and the reason WHY Alterra exist. I am not trying to tell you that every single day in Alterra is a beautiful day in which you always succeed and achieve exactly what you have set in your OKR/KPI. You fail once, you fail twice, and you may fail many times. And that’s what we actually deal with sometimes in certain period of times.

Here is the thing: the goal is not to be perfect by the end, the goal is to be better tomorrow. That’s why we have a PO.Box, a space where you can express Appreciation publicly and constructive input personally among Alterrans, we also have Check-Up Session, 360-Degree Feedback and Performance review in our PMS (Performance Management System). Those kind of things that keep guiding each Alterrans to GROW. And I am so proud of it.

We know that when we are able to grow and able to achieve what we targeted, we always feel happy. I want it too for sure, but that is not my finish line. Well, we live in the Infinite Game where having a finish line is just a myth. Making sure that I could help other Alterrans to grow is always be my inspiration. Simon Sinek once said: “When we help ourselves, we find moment of happiness. When we help others, we find lasting fulfilment.” So now, I am on the mission to find that fulfilment and helping Alterrans find their fulfilment too. That is the best part of this journey.

Thank you Alterra. To grow & beyond!

Alterra adalah kita

Awal tahun 2020 adalah momen yang mengubah hidupku saat pertama kalinya aku ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan Alterra. Pada bulan Januari, aku resmi bergabung menjadi bagian dari tim Technical Writer Alterra. Momen tersebut juga adalah awal dimana aku mendapatkan kesempatan untuk menekuni dua bidang yang aku sukai, yakni menulis dan bidang IT sekaligus.

Tantangan awal yang harus aku hadapi adalah masa masa penyesuaian dan mengejar “kegagapan” akan pengetahuan dunia Tech dimana baru di Alterra aku dapatkan. Beruntungnya, lingkungan Alterra yang menjunjung tinggi aspek kolaborasi menyebabkan aku dengan mudah mendapatkan support dari semua pihak sehingga aku mampu “mengejar” ketertinggalanku di banyak bidang.  

Setelah menyelesaikan berbagai tantangan dan dapat lolos masa probation selama 3 bulan aku menyadari bahwa bekerja di Alterra adalah pengalaman yang menyenangkan. Lingkungan Alterra menurutku sangat cocok untuk aku dapat bertumbuh dan berkembang meningkatkan kapasitas diriku.

(Ilustrasi: Freepik)

Ada pencapaian yang aku sendiri tidak menyangka dapat aku lakukan, seperti menulis dokumentasi sistem, belajar menulis SOP dan Policy, belajar mengenai bahasa pemrograman sederhana untuk dokumentasi markdown dan asciidoc, eksplorasi mengenai tools dan continuous integration untuk penerapan standar dalam suatu departemen, hingga dapat membuat source code tools yang kompleks untuk kepentingan satu tim.

Hal-hal baru yang aku dapatkan saat bekerja ada banyak termasuk melatih diri untuk lebih teliti dan sabar saat mengerjakan sesuatu, berani untuk belajar hal yang baru walau banyak kegagalan seperti saat membuat dokumentasi, menulis source code, dan menerapkan continuous integration, dan terakhir belajar untuk melakukan kolaborasi dengan orang yang memiliki nilai-nilai berbeda dariku.

Bagiku kultur perusahaan Alterra memungkinkan seseorang untuk menjadi versi dirinya yang lebih baik dengan membantu orang-orang disekitarnya menjadi lebih baik lagi. Ketika genap 9 bulan aku bekerja sekarang, aku merasa bahwa versi diriku saat ini lebih baik daripada aku 9 bulan yang lalu. Alasan itu yang membuatku bangga dengan Alterra, karena Alterra adalah kita yang menginginkan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dengan berkolaborasi dan berkembang bersama.

Work is My School of Awareness

Ada sebuah kutipan di internet yang bilang “Life is the school of awareness”. Bagiku kutipan itu berubah jadi “Work is my school of awareness” setelah bekerja hampir 1 setengah tahun sebagai Technical Writer di Alterra. Alasannya, karena ada banyak hal menarik yang nggak henti-hentinya menginspirasi dan juga mengubah cara pandangku selama bekerja di sini.

Kalau jawaban lebih panjangnya, aku senang bekerja di Alterra karena merasa dihargai dan diajak untuk bergerak bersama-sama. Aku akan selalu ingat bulan-bulan pertama dimana aku harus belajar tentang Tech dan segala tentang Alterra. Dari awalnya harus didampingi teman saat mewawancarai narasumber untuk sebuah dokumentasi sampai akhirnya bisa mengerjakan sendiri tugas dan tanggung jawabku tanpa didampingi. Bahkan aku mampu untuk mengemban tugas yang lebih besar tanggung jawabnya secara mandiri.

(Foto: Dok. Alterra)

Aku akan ingat, baik itu hari yang mulus ataupun sulit, di Alterra aku dikelilingi banyak orang yang bersemangat untuk belajar dan memberikan usaha terbaik mereka. Biar pun pekerjaan bertambah sulit atau ada kendala, semua menunjukkan sikap terbaik mereka dan berusaha menyelesaikannya semaksimal mungkin. Dan itu secara nggak sadar membuatku termotivasi untuk selalu jadi lebih baik.

Aku akan ingat Managerku yang bilang, “Jangan takut salah. Di sini tempat kamu belajar”. Aku bersyukur ketika aku memberanikan diri untuk mulai mengambil keputusan dan berani belajar, bisa mendapatkan ruang dan sekitarku nggak ragu-ragu untuk mendukungku.

Aku akan ingat keragaman yang pernah aku temui saat berkolaborasi dengan orang lain. Pada kesempatan itu aku belajar menyesuaikan diri agar kolaborasi dapat berjalan secara maksimal untuk meraih tujuan.

Aku juga akan ingat hal-hal kecil seperti menyapa teman kantor dan kulineran bersama di sekitar kantor, diingatkan untuk jaga kesehatan, diberikan tips ‘kalau sedang buntu, jalan-jalan sore dulu keliling kompleks kantor dan menghirup udara’, saat suasana di tengah meeting penuh dengan hiruk pikuk bahasa Jawa ada teman yang mengingatkan untuk ‘pakai bahasa Indonesia’ karena ada si Shindy yang nggak mengerti sama sekali, sesi privat belajar sama-sama sampai lewat waktu kerja agar semua nggak ketinggalan dan masih banyak lagi.

Hal hal diatas dan masih banyak lagi adalah alasan yang membuatku bangga menjadi bagian dari Alterra. Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk banyak belajar dan bertumbuh di sini.

×

How can we help you?

Jika Anda memiliki pertanyaan seputar produk atau bisnis dengan Alterra, silakan isi form di bawah ini. Kami dengan senang hati akan menjawab dan membantu Anda.