Menulis itu Sulit, Enggak, sih?

Pertanyaan ini cukup sering terucap dari teman-teman saya ketika berbicara tentang mengejawantahkan sebuah ide ke dalam tulisan. Bahkan, ada yang berpendapat kalau menulis itu pekerjaan hanya untuk mereka yang berbakat di sini.

Tetapi, gais, sebenarnya tidak begitu.

Betul, menulis bukan pekerjaan yang mudah. Tetapi, menulis juga bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit. Bisa aja akan terasa begitu ketika seseorang tidak menyenangi aktivitas ini. Percaya deh, kualifikasi utama untuk bisa menulis enggak harus memiliki pendidikan khusus. Saat ini, siapa pun bisa jadi penulis. Bisa dilihat dari para blogger yang memiliki latar belakang berbeda-beda.

Untuk jadi food blogger, kita enggak harus berasal dari lulusan Tata Boga. Untuk jadi penulis novel, kita enggak harus berasal dari lulusan Sastra Indonesia. 

Salah satu jenis tulisan yang digemari dan umum ialah artikel. Sebuah tulisan yang berisikan konten-konten informatif dari berbagai macam bidang. Berbeda dengan fiksi yang memiliki teori-teori tertentu lainnya, artikel terfokus bagaimana mengelola ide yang telah dimiliki sehingga sampai di kepala pembaca.


Definisi Artikel

Menurut website Rumpun Nektar, artikel merupakan sebuah karangan yang berisi analisis suatu fenomena alam atau sosial berisikan tentang siapa, apa, di mana, mengapa, dan kapan fenomena tersebut bisa terjadi. Sederhananya, artikel memuat ketentuan 5W+1H dengan tujuan informatif. Bisa juga artikel itu menawarkan solusi a.k.a alternatif pemecahan masalah.


So, how to write the article?


1. Riset dan memahami dasar menulis adalah hal utama

Satu hal yang perlu diketahui, melakukan riset adalah hal paling penting dalam menulis. Serupa tadi, ketika saya mengatakan bahwa menulis tidak mesti harus mengambil pendidikan tinggi.

Tapi, bukan berarti menulis itu enggak pakai ilmu, loh. Menulis itu ada ilmunya. Ada teorinya. Ada tekniknya. Tujuannya agar penyampaian tulisan tidak mentah, tetapi terpoles dengan baik.

Selain itu, riset juga menjadi nyawa dalam sebuah tulisan

Kenapa? Karena misalnya, ketika kalian ingin menulis ulasan makanan dan membahas bumbu-bumbu. Kalian bisa riset dulu, bumbu-bumbu apa yang terkandung dan bagaimana racikannya. Setelah itu baru kalian bisa mengkritik hasilnya. Hati-hati terjebak dalam tulisan kritik yang bahkan tidak terlandaskan dari fakta. Melakukan riset sama artinya dengan menggali atau mencari tahu lebih jauh dan dalam lagi atas topik tulisan. Hal ini membuat tulisan kita terbaca berisi dengan pemahaman masing-masing.

2. Cari tahu gaya menulismu

Pemilihan gaya itu tergantung selera penulis. Mau bersifat seperti berita atau macam artikel kekinian. Tetapi, jangan lupa, pembaca juga punya selera. Ini terkait ke segmentasi pembaca. Kalau ke anak muda atau usia produktif sebelum 30–35 rasanya mereka akrab dengan gaya bahasa yang lebih millenial atau dekat dengan kehidupan.

Hal ini mempengaruhi gaya kepenulisan. Mungkin yang usianya di atas 35 atau 40 mereka cenderung lebih menyenangi gaya menulis berita. Tetapi, enggak bisa dijadikan patokan juga. Bisa saja, apa yang saya sebutkan di atas enggak berlaku. So, yang jelas, setiap gaya menulis pasti memiliki segmen pembacanya sendiri.

3. Ketahui target pembaca

Bila belum ingin menulis di blog sendiri, coba cari tahu portal menulis yang cocok. Hal ini berkaitan dengan kecocokan gaya menulis atau konten yang akan dibagikan. Atau dari portal berita tersebut bisa juga jadi referensi menulis untuk teman-teman. Bisa cek website mojok.co yang punya posisi sudut pandang selaiknya netizen, yakni mengkritisi, atau mungkin menyindir, tetapi tentu dengan solusi. Plus, mereka punya gaya bahasa yang luwes alias tidak kaku. Bisa ditengok di bagian ketentuan menulis, “Tulislah apa yang bisa kamu tulis sembari duduk di toilet selama 5–10 menit.”

Kalau jongkok gimana? Berapa lama? Haha.

Nah, buat  para Alterrans, saat ini Alterra udah punya sebuah blog yang bisa kamu gunakan dalam menulis di alterra.id/kamis.

4. Perhatikan konten: sesuaikan gaya tulisan dengan kontennya

Hal ini memang lebih bersifat teknis. Jika konten bersifat persuasif, biasanya ditulis dengan gaya yang lebih serius. Kalau mau ditulis dengan gaya yang luwes, bisa juga. Tetap sebaiknya, jangan sampai terlalu luwes. Konten persuasif berbeda dengan konten berisi informasi, yang mana masih lebih enak dibaca apabila gaya tulisannya luwes. 

5. Perhatikan teknis menulis, seperti penggunaan tanda baca dan EYD

Menulis luwes terkadang menyebabkan kita masih menggunakan bahasa mentah yang ada di dalam kepala. Ketiadaaan pengetahuan tentang tanda baca bisa membuat orang salah tafsir terhadap tulisan itu sendiri. Pun dengan EYD. Tujuannya apa? Biar pembaca bisa menikmati tulisan dengan nyaman. Sekaligus memberi edukasi terhadap penulis sendiri dan juga pembaca perihal cara berbahasa yang baik dan benar. 

Tetapi, Alterrans enggak usah khawatir mikirin hal ini ketika nulis, karena belajar EYD bisa dilakukan sambil jalan; sambil kamu nulisin ide-ide kamu. 

6. Masukkan pesan yang ingin kamu sampaikan di dalam artikel

Sebuah tulisan seperti artikel merupakan wadah untuk kamu menyampaikan sebuah pesan yang lahir di kepalamu. Tulisan laiknya sebuah suara, di mana tulisan tersebut bisa memiliki kekuatan jika kamu benar-benar menyampaikannya dengan baik.

7. Apabila kamu ingin menulis artikel opini, tetaplah berlandaskan juga pada fakta

Apabila ingin membuat artikel opini, bagian opini tentu perlu memiliki komposisi lebih besar. Namun, artikel opini akan lebih bersifat subjektif. Sementara, artikel yang menggunakan fakta sebagai landasan bisa dipandang lebih objektif. Jadi, nanti tergantung tujuan yang teman-teman sudah tentukan saja. Pada intinya, baik berbentuk opini atau tidak, semua tetap perlu punya landasan fakta.

Nah, itu tadi itu tujuh tips menulis dari saya.

Enggak sulit, kok. Intinya, kita hanya perlu tahu bagaimana caranya mengolah ide tulisan, ide yang kita dapatkan melalui lima indra di tubuh ini setiap harinya, lalu tuangkan semua hal tersebut ke dalam sebuah tulisan yang enak dibaca dan bisa dinikmati baik secara makna ataupun tujuan.

Selamat menulis, Alterrans! 🙂

Memulai Data Driven Design, Nggak Sesusah Itu Kok!

Sebenernya data driven design ini nggak jauh-jauh dari proses Emphatize di design thinking dan Problem-Solution Fit di product thinking. Syarat utama data driven design apa dong? Jelas, adanya data sebelum kita mulai melakukan problem — solution fit hingga akhirnya tercipta design sebagai solusi yang meaningful untuk user, meaningful untuk stakeholder, dan tentu saja meaningful untuk designer-nya.

Design udah inovatif banget nih, tapi kok conversion jelek? Kok user gak retain?

Pernah liat gambar di atas? Seringkali, designer dan stakeholder udah bias dengan user needs. Designer bukanlah user. Begitu juga dengan stakeholder. Seringkali, kita sebagai designer ini udah terlalu familiar sama produk bikinan kita sendiri. Menariknya, user pun tuh sebenernya juga nggak tau apa yang sebenernya mereka butuhkan. Terus gimana dong? Untuk menjawab user needs, dibutuhkanlah data driven design.

Data driven design mewajibkan kita untuk melakukan riset. Kenapa? Penting banget untuk membuktikan asumsi-asumsi designer melalui riset. Apa yang kita asumsikan, tidak selalu sesuai dengan kondisi dan pemikiran user. Apa yang sedang jadi UX trend, tidak selalu bisa masuk kedalam behaviour user. Dengan riset, seorang designer akan lebih mengenal siapa usernya.

Design material, design trend atau design-design yang ramai diomongin di forum designer, belum tentu bisa bikin user kita convert. Belum tentu bisa bikin mereka melakukan apa yang kita (sebagai designer) inginkan.

UX research, ada banyak banget metodenya, referensinya juga udah banyak. Setiap data yang didapat dari riset pasti bisa menghasilkan sesuatu yang meng-improve design kita.

“Wah, Company-ku Nggak Mendukung Buat Riset Nih.. Gimana Dong?”

Banyak designer yang curhat kalau company mereka susah banget approve buat melakukan UX research. Tips paling awal buat menyakinkan company atau stakeholder adalah dengan menyajikan data dan membuat improvement melalui data tersebut. Ketika kita udah bisa nunjukin “hasil” dari sebuah riset pasti jalan kedepannya lebih gampang.

Cari data yang bisa kita gali tanpa keluar biaya. Contohnya adalah:

Memantau aktivitas user melalui aplikasi tracker

Kalau produk kamu sudah memiliki aplikasi tracker semacam Google Analytics atau Mixpanel kamu wajib banget untuk memiliki akses. Sebagai designer, hal ini memudahkan kamu ngetrack apa yang user lakukan dan sebagai designer, kamu bisa langsung melakukan improvement dari situ. Contohnya yang pernah aku lakukan, ternyata page yang paling sering diakses userku adalah Home dan History. Tapi akses ke History harus melalui 2 tahap tambahan. Nah dari sini, aku bisa melakukan improvement dengan mempermudah akses ke History. Yaitu dengan menambahkan icon History di bottom navigation. Setelah perubahan tersebut, kamu bisa menyajikan data sebelum dan sesudah ada perubahan.

Funnel di Google Analytics Memudahkan Kita Menganalisa Behaviour dan Drop Off
Funnel di Google Analytics Memudahkan Kita Menganalisa Behaviour dan Drop Off

Contoh lagi, waktu itu pernah bikin fitur baru Collection, saat kerja di sebuah e-commerce. Hanya berbentuk icon saja. Jelas banget yang convert ke page collection kecil banget. Untuk tahap pertama, aku coba ganti icon dengan icon + wording “collection”. Hasilnya jauh lebih banyak yang akses halaman tersebut, tapi masih kurang maksimal karena user hanya mengunjungi tapi tidak melakukan action yang aku inginkan. Nah, dari situ aku bisa bikin improvement lagi. Jadi, di empty-state bisa langsung dikasih wording penjelasan dan CTA create collection. Hasilnya user pun mau untuk membuat collection. Untuk hal semacem ini, sebagai designer juga harus memperkaya ilmu soal onboarding. Jadi data dan teori tuh balance.

Data Driven Design Framework

Research planning sangat penting, karena bisa mempermudah kamu dalam eksekusi dan tentu aja saat mengajukan ke stakeholder. Berikut framework yang bisa kamu coba.

 

Framework outlined by King et al.
Framework outlined by King et al.

Goal & Problem

E-Commerce Goal UI/UX
Contoh goal yang ingin aku achieve saat di e-commerce

Tentukan dulu goalnya. Misalnya nih, goalnya pengen meningkatkan activation e-commerce. Setelah itu, dari data yang udah kamu punya (misalnya tracker kayak di-poin sebelumnya), kamu bisa define problem yang jadi blocker buat achieve goal tuh apa. Atau bisa propose untuk melakukan survey terlebih dulu jika nggak ada data yang bisa kamu ambil. Contoh problemnya, ternyata data dari tracker menunjukkan kalau user tidak melakukan action pembelian. Hanya discover aplikasi / web e-commerce kamu. Nah kalau aku biasanya bikin coret-coretan seperti gambar diatas buat mempermudah pointing problemnya.

Hipotesis

Setelah tahu kalau ternyata problemnya user hanya “muter-muter” aja di web, kamu bisa menarik hipotesis. Hipotesis bukan cuma kayak “kalau flownya diganti A user bakal lebih tertarik untuk melakukan action”, not that simple ferguso…

Hipotesis ada metricsnya lho! Apa itu? Hipotesis harus menjawab hal-hal ini:

  • Siapa saja kelompok user yang akan di evaluasi (user group)
  • Apa saja improvement yang akan dibuat (change)
  • Efek atau hasilnya akan seperti apa (effect)
  • Mengapa efek / hasil tersebut akan terjadi (rationale)
  • Apa measurable result yang akan didapat (measure)

Atau, King et al. merumuskannya jadi satu kalimat;

“For [user group(s)], if [change] then [effect] because [rationale], which will impact [measure].”

Contoh hipotesisnya disini, “Untuk milenial (user group), jika kita membuat fitur blog (change) di e-commerce maka akan membuat mereka tertarik membeli produk setelah membaca artikel tentang produk (effect) tersebut karena mereka dapat menemukan value produk tersebut dan lebih yakin untuk membeli (rationale), sehingga dapat meningkatkan activation rate (measure)”.

Test

Test ini bisa dibilang “experiment”. Sebelum melangkah ke design sebenernya, lebih baik melakukan eksperimen untuk tahu apakah hipotesis kita tuh bener. Contohnya bisa dengan A/B testing. Atau kalau aku juga pernah bikin fitur percobaan yang low effort. Aku juga pernah melakukan experiment hanya lewat in app message saja untuk “cek ombak”.

Contoh untuk study case sebelumnya, kita bisa bikin 1 artikel yang mencakup beberapa produk dan user bisa melakukan pembelian produk-produk di artikel tersebut.

Test tersebut dapat kita atur waktu, sampai kapan kita mau jalanin dan seberapa jauh. Test atau experiment juga dapat kita lakukan untuk kelompok user tertentu aja yang kita jadikan sample “percobaan”.

Result

Result dari test atau experiment dapat membuktikan hipotesis kita bener atau salah nih. Result ini pula yang akan nge-drive seluruh design yang akan kita buat untuk mencapai goal di awal tadi.

Misalnya, dengan adanya artikel mengenai produk-produk tertentu, ternyata bikin add to cart rate meningkat bahkan success payment pun meningkat dengan angka yang signifikan. Artinya hipotesisnya benernya. Maka kita sebagai designer bisa membuat design blog lengkap dengan shortcut untuk add to cart.

Coba mulai dari hal-hal diatas untuk terbiasa dengan data driven design. Mulai dari hal yang mudah dulu, seperti pasang tracker di semua action. Pasti bakal lebih mudah buat kita tahu seberapa efektif design yang kita buat. Dan plusnya, kalau ada problem atau metrics ada yang turun, kita bisa lebih cepet tahu alasannya. Good luck sobat UX dan product kuh!

Yuk, Kenalan dengan Profesi Quality Engineer di Alterra!

Halo sobat Alterrans! Di artikel kali ini saya ingin mengenalkan salah satu role pekerjaan yang ada di Alterra nih, yaitu Quality Engineer. Buat kamu yang punya teman bekerja sebagai role ini, tahu enggak, pekerjaan mereka seperti apa?

Sebelum saya jelaskan lebih lanjut, ada sebuah fakta menarik, nih. Ternyata, Quality Engineer memiliki beberapa variasi nama, tergantung dari perusahaan yang menggunakan jasa pekerjaan ini. Berikut nama-nama variasi yang mungkin kamu pernah dengar:

  • Quality Assurance Engineer (QA Engineer)
  • Software Quality Assurance (SQA)
  • Quality Control Engineer (QC Engineer)
  • Quality Assurance Tester (QA Tester)
  • Test Engineer

Lalu, definisi Quality Engineer itu apa dong? 

Pada dasarnya, lima penamaan role itu memiliki fungsi dasar yang sama, yaitu penjamin kualitas sebuah produk. Jadi, Quality Engineer itu adalah sebuah role pekerjaan yang memiliki fungsi untuk memastikan kualitas dari keseluruhan produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan, khususnya Alterra. Mereka memainkan peran kunci dalam penjaminan kualitas sebuah produk. Tapi, di antara lima penamaan di atas tadi, Quality Engineer memiliki peranan yang lebih penting.

Kenapa begitu?

Seorang Quality Engineer itu harus paham loh tentang produk dan kualitasnya, mulai dari sebelum dibuat sampai produk itu di-launching.  Dalam proses pengembangan produknya, Quality Engineer melakukan analisa secara keseluruhan dan membuat skenario untuk pengujian kualitas dari produk tersebut. Skenario dibuat sesuai dengan behaviour dari para pengguna. Nantinya, mereka bakal melakukan pengujian dengan ekspektasi sesuai spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan pada saat analisa produk tadi.

Bisa dibilang, overall, Quality Engineer bertugas untuk mempertahankan kualitas awal sampai akhir sebuah produk. Mereka melakukannya dengan mengikuti sistem manajemen mutu dari proses yang ada di dalam sebuah perusahaan. Penting banget bagi seorang Quality Engineer untuk bisa lebih dari sekadar identifikasi masalah aja. Paham tentang dasar dari sebuah kualitas sehingga bisa memastikan standar apa saja yang harus dipertahankan

Quality Engineer kerjanya bareng siapa aja, sih?

Dalam aktivitas kerja, biasanya Quality Engineer terlibat di dalam Development Team, berkolaborasi dengan Software Engineer (SE) dan System Analyst (SA) dalam mengembangkan sebuah produk. Selain itu, mereka juga kolaborasi dengan Product Owner (PO), Tim Business Development, dan Tim UI/UX Design yang juga bagian dari lahirnya sebuah produk. 


Apa aja yang mereka kerjain sebagai Quality Engineer di Alterra?

 

“Quality Engineer Is More Than Tester”

Kutipan ini saya bikin karena ingin nunjukkin bahwa menjadi seorang Quality Engineer itu bukan sekadar ngetes produk aja. Quality Engineer fokus pada bagaimana proses pengembangan perangkat lunak dilakukan dengan baik daripada bagaimana hasil akhir perangkat lunak yang dihasilkan. 

Tugas Quality Engineer, kan, memastikan setiap proses pengembangan perangkat lunak berjalan dengan baik.  Ya, supaya kualitas pengembangan perangkat lunak terjaga. Salah satu contohnya adalah menjaga kualitas proses programming dan build/test. Pengerjaannya dilakukan dengan pengujian secara automasi (automated) dengan menggunakan tools pengujian tertentu.


Sampai di sini Alterrans kira-kira udah bisa ngebayangin belum tentang Quality Engineer?

Nah, fyi, seorang Quality Engineer  juga melakukan beberapa hal yang berkaitan dengan proses teknis maupun nonteknis, loh. Prosesnya itu sendiri mencakup pembuatan dokumentasi user story, skenario pengujian, test report, UAT, dan dokumentasi pengujian lainnya. 

Lebih dari itu, proses nonteknis itu bisa tergolong pada proses di mana seorang Quality Engineer berinteraksi dengan tim developer terkait saran dari aplikasi yang dibangun menyangkut UI/UX aplikasinya maupun flow dari aplikasi. Hal-hal yang mencakup pada nonteknis yang telah disebutkan merupakan bagian dari pendukung proses teknis, yaitu manual test dan automated test.

Hal-hal tersebut berkaitan dengan fungsi Quality Engineer dalam melakukan proses Quality Assurance atas sebuah produk. Kalau kamu belum tahu tentang Quality Assurance, nih, ada gambarannya:


Quality Assurance

Secara umum definisi Quality Assurance (QA) itu adalah secara proses-proses yang mencakup monitoring, uji-tes, dan memeriksa semua proses produksi yang terlibat dalam produksi suatu produk. Memastikan semua standar kualitas dipenuhi oleh setiap komponen dari produk atau layanan yang disediakan oleh perusahaan untuk memberikan jaminan kualitas sesuai standar yang diberikan oleh perusahaan dan kebanyakan metode pengujian secara manual.

Jadi Quality Assurance punya tugas dan tanggung jawab utama terkait dengan peran jaminan kualitas. Meskipun sifat yang tepat dari pekerjaan jaminan kualitas bakal berbeda berdasarkan pada industri tertentu, tugas utama dan kompetensi terkait dengan memastikan bahwa produk tersebut memenuhi standar kualitas yang diperlukan atau diberikan sesuai standar perusahaan dalam hal ini secara umum dan industri IT secara khusus.


Quality Assurance Tester (QA Tester)

Software Quality assurance sendiri dapat dilaksanakan oleh seorang QA tester ataupun QA Engineer. Tapi bukan berarti keduanya sama, meskipun ada proses sama yang dilakukan oleh keduanya. Seorang QA tester tugas utamanya adalah menguji software, membuat alur pengujian, dan membuat laporan hasil pengujiannya. Sedangkan QA Engineer melebihi dari tugas seorang tester, tugasnya mencakup semua scope development, mulai dari analisa kebutuhan aplikasi sampai dengan release aplikasi.

Nah, sekarang jadi tahu, kan, betapa pentingnya peran Quality Engineer di sebuah perusahaan?

Dengan adanya role ini, suatu perusahaan dapat memberikan kepercayaan kepada Product Owner (PO) yang mewakili pengguna atau klien maupun pelanggan dengan meminimalisir kecacatan pada aplikasi. Coba bayangin, deh, kalau sebuah aplikasi yang digunakan oleh klien/pengguna ternyata masih ada bug-nya? 

Pasti bisa bakalan malu karena aplikasi tersebut disebut tidak layak pakai. Para pengguna tersebut bakal enggan menggunakan aplikasi itu lagi. Belum lagi reputasi perusahaan juga jadi rusak secara signifikan karena tidak ada lagi yang menggunakan aplikasi yang sudah kita bangun. 

Oleh karena itu, seorang Quality Engineer punya peran penting dalam memastikan apakah aplikasi siap untuk di-publish ke publik, bukan hanya aplikasi yang sekadar jadi. Selain itu, Quality Engineer juga bertanggung jawab akan dokumen yang dibutuhkan untuk pengembangan aplikasi jangka panjang. 

Pengalaman Magang hingga Jadi Karyawan Tetap di Alterra

Halo perkenalkan, nama saya Dwi Arianto. Sebelum sekarang jadi Content Writer dan menyandang status sebagai karyawan tetap di Alterra, dulunya saya adalah seorang yang sempat menjadi intern atau anak magang di Alterra, tepatnya di divisi Product & Digital Marketing. 

Alasan utama mengapa saya ingin bekerja magang di Alterra adalah karena saya ingin mencari pengalaman dalam bekerja. Kebetulan, saya memang tertarik di bidang tulis-menulis dan juga media sosial. Berangkat dari ketertarikan tersebut, beruntungnya, saya bisa mendapat kesempatan bergabung ke Tim Digital Marketing yang senjata utamanya adalah konten, sebab Content is King!

Sebelum magang di Alterra, saya sendiri belum memiliki jam terbang yang terbilang cukup dalam hal tulis-menulis. Ibaratnya, masih anak kemarin  sore banget. Beruntungnya lagi, tim Product & Digital Marketing, sama sekali nggak pelit ilmu. Saya belajar banyak banget hal selama magang, mulai dari mengenal lingkup kerja Digital Marketing, apa saja yang harus dilakukan, dioptimisasi, dan tools apa saja yang digunakan untuk menunjang dan mengukur pekerjaan yang saya lakukan. 

Suatu hal yang sangat berkesan dan nggak akan pernah saya lupakan bisa bekerja bersama tim yang asyik dan orang-orangnya juga baik. Selain itu, nggak pelit ilmu juga. Kalau saya bertanya hal yang saya nggak tahu tentang pekerjaan, respon teman-teman di tim juga cepat dan memberikan penjelasan yang sangat bisa dipahami.

Awal Mula Menjadi Intern di Alterra

Sebenarnya, alasan mengapa saya bisa bekerja magang di Alterra ini bukanlah suatu pilihan. Tetapi, awalnya saya memang mendapat tawaran dari kakak saya, Bondan, yang juga bekerja di Alterra. Saya pun tidak menyia-nyiakan hal tersebut dan segera submit CV, dengan modal nekat. 

Kenapa nekat? Sebab, saat itu saya memang tidak memiliki keahlian apapun di bidang Digital Marketing. Saya juga sangat buta dengan semua pekerjaan yang berkaitan dengan Digital Marketing. Namun, setelah interview dan mengerjakan serangkaian tes, akhirnya saya diberi kesempatan magang selama 3 bulan lebih dulu oleh Mbak Dita dan Mbak Ghea. 

Selama 3 bulan itu, saya menjalaninya dengan senang dan penuh semangat. Saya juga berusaha melahap ilmu serta menyelesaikan semua pekerjaan yang diberikan kepada saya. Dengan harapan, selain bisa dapat ilmu dan latihan, saya juga berharap bisa bergabung dengan tim Digital Marketing secara tetap ke depannya. Hehe. 

Internship Selesai, Waktunya Review

Saking banyaknya hal yang saya pelajari selama magang, nggak kerasa waktu sudah 3 bulan berjalan. Tiba saatnya saya mengalami salah satu detik-detik menegangkan dalam hidup: performance review. Review ini tentunya berkaitan dengan performa saya selama masa magang itu sendiri. Bagaimana pekerjaan saya, perkembangan skill, dan lain sebagainya.

Di awal, terkesan menegangkan memang, karena saya pun harap-harap cemas menanti nasib saya setelah internship berakhir. Namun, ternyata review-nya cukup menyenangkan dan membuka mata saya tentang diri saya sendiri. Saya jadi tahu di mana kekurangan dan kelebihan diri saya. Dari situlah saya jadi terus terpacu untuk mengasah skill dan belajar lebih banyak hal lagi yang memang menjadi ketertarikan saya. 

 Tanpa disangka, ternyata status saya dilanjutkan sebagai karyawan di Alterra dengan posisi sebagai Content Writer. Eits, tapi tidak langsung menjadi karyawan tetap ya. Sebab, saya masih harus menjalani masa probation dulu selama 3 bulan. Probation itu adalah masa di mana saya akan diuji lagi, baik dari sisi skill, pekerjaan, hingga personal development, selama 3 bulan sebelum menjadi karyawan tetap.

Kalau di masa internship, tantangannya adalah belajar banyak hal yang sebelumnya belum pernah saya ketahui, di masa probation, tantangannya lebih legit lagi. Sebab, saya mendapat tanggung jawab yang lebih banyak dan harus semakin menajamkan ilmu yang sudah saya dapatkan selama magang. 

Kerja Sambil Kuliah

Tiga bulan probation berakhir, di sinilah saya sekarang, menjadi karyawan tetap di Alterra sebagai Content Writer. Senang sekali rasanya, namun hal ini nggak lantas bikin saya jadi mudah berpuas diri. Sebab, menjadi karyawan tetap artinya semakin banyak pekerjaan dan pelajaran yang perlu saya dalami. Tujuannya tentu selain agar saya lebih grow, saya juga ingin memberikan value lebih melalui pekerjaan saya ke perusahaan.

Saat ini, saya juga berstatus sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta di Jakarta. Kebetulan, dulu saya sempat kuliah dengan bidang studi Ilmu Komunikasi. Namun, karena satu dan lain hal, kuliah saya terpaksa harus berhenti dalam waktu yang lama. Kini, saya bertekad untuk melanjutkan kembali kuliah saya yang sempat tertunda dengan harapan agar saya bisa mewujudkan mimpi-mimpi saya ke depannya.

Bagi saya, sangat senang rasanya bisa bergabung dan bekerja bersama orang-orang hebat yang ada di Alterra. Selain belajar banyak, saya juga sangat termotivasi untuk tumbuh. Buat saya yang kini bekerja sambil kuliah, Alterra adalah perusahaan yang cukup fleksibel dalam hal waktu. Buat saya, Alterra juga feels like home. Nggak cuma karena banyak fasilitas yang menurut saya TOP banget, tapi juga atmosfer dan orang-orangnya cukup menyenangkan dan kekeluargaan.

×

How can we help you?

Jika Anda memiliki pertanyaan seputar produk atau bisnis dengan Alterra, silakan isi form di bawah ini. Kami dengan senang hati akan menjawab dan membantu Anda.