“Di masa depan, robot akan banyak membantu pekerjaan manusia menjadi lebih efisien, bukan untuk menggantikan manusia. Manusia dan robot dapat berkolaborasi dan hidup berdampingan”
Pernyataan di atas sering dikemukakan para praktisi teknologi untuk menjawab keresahan banyak orang awam terkait banyaknya pekerjaan di masa depan yang akan diambil alih oleh kecerdasan buatan. Bagaimanapun, keresahan-keresahan yang dialami orang-orang itu sangatlah beralasan karena kita telah menyaksikan sendiri bagaimana disrupsi teknologi mengakibatkan banyak profesi yang hilang. Petugas loket, kasir swalayan, tukang pos, dan tukang parkir adalah beberapa contoh dari sekian banyak pekerjaan yang saat ini sudah terotomasi oleh mesin tanpa melibatkan tenaga manusia.
Narasi-narasi seperti itu seakan memperlihatkan betapa kejamnya teknologi dalam mengambil alih eksistensi dan kehidupan manusia. Padahal, kenyataannya revolusi digital yang dimulai sejak akhir abad 18 berangkat dari semangat untuk menciptakan teknologi yang menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Seperti yang dijelaskan Walter Isaacson dalam bukunya The Innovator (2014) bahwa kelahiran internet, yang selanjutnya melahirkan era digital, diwarnai oleh dua kubu yang berbeda pandangan. Kubu pertama adalah para pegiat kecerdasan buatan yang meyakini bahwa di masa depan akan tercipta super komputer yang luar biasa cerdas dengan kemampuan jauh melebihi manusia biasa, sedangkan kubu satunya memiliki pandangan yang lebih humanistik, bahwa mesin seharusnya tidak diciptakan untuk mereplikasi atau bahkan mengungguli kemampuan manusia, tetapi saling bekerja sama membentuk simbiosis mutualisme.
Dalam perkembangannya, kemajuan di bidang kecerdasan buatan, cita-cita yang digaungkan kubu pertama, untuk membuat mesin yang bisa berpikir sendiri, relatif mandek, sangat kontras dengan kenyataan saat ini yang lebih mengakomodasi teknologi dengan interaksi yang ramah pengguna serta punya manfaat nyata bagi manusia. Teknologi yang humanis kenyataannya jauh lebih diterima.
Dengan spirit yang sama, spirit untuk menciptakan teknologi yang humanis itulah yang menggerakkan saya untuk memilih Alterra Indonesia sebagai pelabuhan karir saya setelah saya lulus kuliah pada tahun 2018. Nilai-nilai yang dianut Alterra (Customer Focus, Champion, Innovation, Integrity, Collaboration) menunjukkan betapa nilai humanisme dijunjung tinggi di perusahaan ini.
Jika dicermati, kelima values Alterra lebih menitikberatkan pada objek manusia, bukan pada valuasi atau teknologi yang mereka miliki. Satu, value Customer Focus, berfokus pada pelanggan, empat sisanya lebih kepada orang-orang di internal perusahaan (baca: karyawan).
Customer Focus merefleksikan nilai bahwa pelanggan adalah prioritas serta alasan utama dibalik setiap aktivitas para Alterrans. Tentu banyak yang mengatakan bahwa bukan hanya Alterra yang mengutamakan customer focus, setiap perusahaan didirikan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggannya. Akan tetapi, seperti yang sudah saya alami dan amati sendiri selama hampir dua tahun ini, Alterra selalu mendorong setiap orang untuk menjadikan customer bukan sekedar pihak yang bisa dimanfaatkan seenaknya untuk dikapitalisasi dan mendulang keuntungan, tetapi sebagai mitra yang dapat tumbuh bersama. Dengan begitu akan muncul rasa saling percaya seperti kekasih yang kita percaya tidak akan selingkuh dan mengkhianati kita dari belakang, eaa.
Champion, Innovation, Integrity, dan Collaboration adalah wujud dari semangat Alterra untuk menjadikan sumber daya manusia-nya bukan sekedar mesin atau robot yang statis dan patuh dengan setiap perintah atasan. Alterra mendorong setiap karyawan untuk menanyakan setiap goals dan target dari setiap pekerjaannya, memiliki spirit pantang menyerah dan daya juang tinggi (Champion), berpikir out of the box, terbuka terhadap ide-ide baru, adaptif terhadap setiap perubahan (Innovation), bekerja dalam tim (Collaboration), menjauhi sikap saling menyalahkan, dan menjunjung tinggi moralitas (Integrity).
Wujud nyata dari humanisme teknologi Alterra juga bisa dilihat dari salah satu produknya, yaitu Alterra Academy. Alterra Academy menjaring anak-anak muda dari seluruh pelosok Indonesia untuk menjadi para tech talent baru yang siap membantu Indonesia mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digitalnya. Sebagai alumni langsung akademi tersebut, saya merasakan betul bagaimana seriusnya mereka merancang silabus, memilih mentor, serta mendampingi peserta sampai fase after graduation. Semua itu semata untuk menghasilkan developer-developer handal yang tidak hanya menguasai skill teknologi, tetapi juga memahami bagaimana menghasilkan produk yang impactful bagi penggunanya serta memiliki sentuhan yang humanis.
Salah satu founder Alterra, Ananto Wibisono pernah kesal ketika banyak pandangan miring yang mengatakan bahwa Sepulsa (nama perusahaan di awal didirikan) hanya sekedar perusahaan yang menciptakan platform untuk berjualan pulsa. Tidak banyak yang tahu bahwa dirinya bersama Jefrey Joe mendirikan Alterra untuk menjadi The best place to work, dimana employee-nya menjadi pribadi yang grow dan punya jiwa champion.
CEO kami itu, yang jika Anda mengamati wajahnya akan terlihat sebuah anatomi wajah yang funny tapi tidak ada artsy-artsy-nya sama sekali, ingin menunjukkan bahwa Alterra bukan didirikan untuk misi mengejar profit, brand, atau valuasi belaka. Tetapi ada misi ideologis, sebuah humanisme teknologi untuk menciptakan sesuatu yang mulia dan bermakna bagi kehidupan manusia di Indonesia.
Hidup Alterrans, Hidup Indonesia!