Panggilan wawancara kerja itu kupenuhi. Setibanya di lokasi, aku sedikit bingung, karena yang kudapati adalah sebuah salon, padahal aku melamar sebagai tenaga IT. Daripada berdiam diri terlarut dalam kebingungan, kumasuki saja tempat itu dan bertanya kepada orang yang di dalam. “Permisi, benar ini kantor Sepulsa? Saya mau interview,” tanyaku kepada ibu yang ada didalamnya. “Oh, iya Mas, lewat pintu sebelah ya, terus turun.” Kemudian aku turun dan bertemu orang yang bertugas mewawancaraiku.
Singkat cerita, setelah lamaranku diterima, aku pun mulai hari pertama kerja. Dan seperti biasa, sebagai karyawan baru, aku tentunya berangkat lebih pagi, sekitar 15 menit lebih awal dari waktu efektif. Aku sedikit heran karena sekitar satu jam setelah jam efektif, baru 3 orang karyawan lainnya yang baru datang. Yang lebih mengejutkannya lagi, cuma aku seorang yang berpakaian rapi (kemeja, dan celana bahan).
Sama halnya dengan jam masuknya yang terkesan sedikit siang, jam pulangnya pun demikian. Ketika jam kerja berakhir, ketika aku hendak pulang, terbesit dalam benakku untuk menundanya sebentar, karena karyawan lainnya belum ada yang bergegas untuk pulang. Kutunggu satu jam hingga dua jam, baru ada satu orang yang pulang. Demikian pula dengan hari-hari berikutnya, seakan seperti itulah jam pulang yang ada. Tak terasa setelah dua minggu bekerja disana, tanpa disadari kebiasaan karyawan lainnya ‘menular’ padaku, yaitu berangkat siang pulang ‘sedikit’ larut.
Sekarang kebiasaan itu kini menjadi sesuatu yang bisa diibaratkan sebuah siklus. Entah karena aku memang sudah terbiasa ‘mendekam’ di depan komputerku, atau memang sebuah hal yang menyenangkan untuk alam bawah sadarku. Mungkin ‘rumah kedua’-ku sedikit berbeda dengan kantor pada umumnya, kebiasaan kerja pun menurutku tidak sama. Namun, aku rasa rutinitas berbeda bukan berarti salah, terlebih setelah kucoba menjalaninya. Banyak kebiasaan baru yang sebenarnya lebih mendukungku untuk belajar dan berkarya di tempat kerjaku, yang lebih nyaman untuk kusebut rumah kedua.